PENGERTIAN AWAM KATOLIK



1.     1. DALAM KITAB SUCI

Dalam banyak bahasa Eropa untuk menyebut kaum awam dipakai suatu kata yang berasal dari bahasa Latin ‘laicus’. Dari kata Latin itulah berasal dari Yunani ‘laikos’, artinya termasuk dalam rakyat, anggota umat, dan kata itu berhubungan dengan ‘lais’, yang artinya rakyat, umat.

Dalam bahasa Yunani secular, kata ‘laos’ digunakan untuk kumpulan banyak orang tanpa spesifikasi apa pun. Dalam ‘Septuaginta’ terjemahan Kitab Suci Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani, kata ‘laos’ digunakan sebagai sebutan untuk bangsa Israel, sedangkan bangsa-bangsa lain disebut ‘ta-ethn’

Dalam Perjanjian Baru kita sering temukan kata ‘laos’ dengan pelbagai macam arti. Paling sering ‘laos’ dipakai dengan arti umum seperti dalam bahasa Yunani secular, tetapi terdapat juga pemakaian seperti dalam Septuaginta, laos sebagai umat Israel berhadapan dengan bangsa-bangsa lain.

Di beberapa tempat laos digunakan pula sebagai sebutan untuk jemaat Kristiani. Dalam pemakaian itu dengan sengaja pertentangan antara laos dan ta ethn – diatasi. Identitas dari laos baru itu tidak ditentukan oleh turunan alamiah dari bangsa atau budaya tertentu, tetapi oleh iman akan Yesus Kristus. Allah sendiri ‘memilih suatu umat (laos) dari antara bangsa bangsa (ta ethn) bagi namaNya: (Kis 15:14).

Umat yang dipilih Allah dari antara bangsa-bangsa itu merupakan atau dinyatakan sebagai Israel sejati. Tafsiran macam ini bisa kita temukan juga dalam surat-surat Paulus, misalnya Roma 9:25-26, sebuah kutipan dari nabi Hosea, ‘yang bukan umatKu akan Kusebut umatKu’ ditafsir sebagai bangsa-bangsa yang dipilih masuk ke dalam umat Tuhan. Juga surat Ibrani 8: 10 dan surat pertama Petrus 2: 9 mengenal gagasan yang sama.

Dalam semua kasus, di mana laos digunakan untuk jemaat Kristiani, seluruh jemaat itu dimaksudkan. Gagasan umat Tuhan itu tidak mengenal suatu pembedaan atau malah pemisahan antara laos, para laici berhadapan dengan para pemimpin, para imam atau golongan apa pun macam itu. Pembedaan yang muncul dan ditonjolkan berhubungan dengan gagasan laos ialah perbedaan antara orang beriman dan yang tidak beriman akan Yesus Kristus. Dengan demikian, penggunaan kata laicus sebagai awam yang menyangkut suatu golongan tertentu dalam umat Allah tidak mempunyai dasar dalam arti kata laos seperti digunakan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.

Tetapi laicus dalam bahasa Latin gerejani berasal tidak langsung dari laos, tetapi dari  ‘laikos’ yang artinya termasuk di dalam rakyat. Pada mulanya kata itu digunakan untuk menyebut benda yang tidak dikhususkan untuk Allah atau untuk kultus, perayaan keagamaan. Misalnya dalam I Sam 21: 4 imam berkata kepada Daud: ‘Tidak ada roti biasa (laikos) padaku, hanya roti kudus yang ada’. Pemakaian kata ini untuk orang, baru mulai di sana-sini dalam terjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani. Misalnya dalam Yes 24:2, Hosea 4: 9 dan Yeh 48:15 dibedakan antara rakyat dan para imam, dan untuk rakyat digunakan kata ‘laikos’. Di sini bias kita lihat suatu titik tolak untuk perkembangan ke arah arti yang menjadi biasa di dalam Gereja di kemudian hari.

Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa kata laikos itu tidak pernah muncul dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Pembedaan antara sacral dan profan, yang begitu kuat mewarnai pelbagai agama ditolak oleh Perjanjian Baru. Kenyataan seluruhnya diarahkan kepada Allah, ciptaan seutuhnya dikuduskan, tidak  ada lagi kenyataan yang profan. Dalam diri Yesus, Allah yang menjelma dalam ciptaan, segala sesuatu dikuduskan, tidak ada lagi sesuatu yang bersifat laikos, yang tidak masuk ke dalam kenyataan yang dikuasai dan dicintai Allah.

Maka kita bisa merangkumkan: kata laos tidak pernah dipakai dalam arti bahwa ia menunjuk pada suatu perbedaan di dalam umat Tuhan, misalnya umat basis berhadapan dengan para pemimpin. Kata itu hanya menunjukkan perbedaan antara umat beriman seluruhnya dengan orang lain yang tidak beriman akan Yesus Kristus.

Kata laikos yang merujuk pada suatu perbedaan antara rakyat jelata dan para imam yang dikhususkan untuk Allah dengan sengaja tidak digunakan dalam Perjanjian Baru, karena perbedaan macam ini tidak mampunyai dasar lagi setelah dalam diri Yesus Kristus ciptaan seutuhnya diterima dan dikuduskan Tuhan. Menurut Perjanjian Baru perbedaan antara sacral dan profan sudah sirna, tidak berlaku lagi sesudah Yesus Kristus.

Tidak ada kata khusus dalam Perjanjian Baru yang menyebut basis dalam Umat Allah hanya ada kata-kata khusus yang menyebut mereka yang menjalankan suatu fungsi khusus di dalam umat. Kita hanya menemukan kata yang secara positif menyebut semua anggota umat orang beriman, orang kudus, orang kristiani, saudara-saudari di satu pihak, dan kata-kata untuk oarng yang menjalankan fungsi tertentu seperti penatua, penilik, pewarta, utusan dan sebagainya. Jelas bahwa jemaat kristiani pada zaman Perjanjian Baru tidak mengenal perbedaan martabat atau status, anggota jemaat semua saudara-saudari dalam Kristus atau orang kudus, anak-anak Allah atau rohaniwan, orang yang telah menerima karunia Roh Kudus, tetapi jemaat itu mengenal banyak macam fungsi, karisma dan pelayanan yang dijalankan oleh pelbagai orang demi kepentingan pembangunan jemaat.

Juga bagi para pejabat atau fungsionaris di dalam jemaat belum ada istilah yang merangkum semua dan membedakan mereka dari rakyat yang bukan pejabat. Misalnya kata klerus yang kita gunakan dewasa ini untuk kaum tertahbis, dalam Perjanjian Baru untuk seorang petugas di dalam jemaat kristiani, hanya utnuk petugas di dalam agama Yahudi dan agama-agama lain. Dalam konteks kristiani, kata ini hanya dipakai untuk Yesus Kristus sendiri (surat Ibrani) dan untuk jemaat seluruhnya ( I Petrus 2: 9).

Begitu pula istilah rohaniwan (klerus) tidak digunakan Perjanjian Baru untuk kelompok tertentu dalam jemaat, tetapi untuk mereka semua yang hidup dalam Kristus, karena mereka sudah menerima RohNya.

Maka semua istilah yang sekarang ini kita gunakan untuk menonjolkan perbedaan antara pelbagai golongan dari jemaat Allah belum menunjuk pada perbedaan dan pada golongan-golongan di dalam penggunaan Perjanjian Baru, tetapi selalu berbicara mengenai jemaat seluruhnya – dalam perbedaan dengan mereka yang tidak percaya akan Yesus Kristus.

2. MUNCULNYA GAGASAN DAN GOLONGAN AWAM DI DALAM GEREJA PERDANA

Penggunaan kata laikos dalam umat Yahudi yang sudah kita singgung di atas menjadi jembatan bagi masuknya terminology ‘awam’ ke dalam jemaat kristiani. Teks Kristiani pertama yang menggunakan kata laikos untuk suatu golongan orang tertentu dalam jemaat (biarpun jemaat Yahudi) ialah surat pertama Klemens yang ditulis sekitar tahun 96.

Sekitar seratus tahun kemudian Klemans dari Aleksandria (wafat sebelum 216) menggunakan istilah laikos untuk suatu golongan di dalam jemaat kristiani, ia mengurutkan ‘imam, diakon, awam’. Dan Origenes (wafat 253/254) sudah membandingkan golongan klerus dengan golongan awam  ‘… Lebih dari satu orang klerus akan binasa dan lebih dari orang awam akan bahagia …’ 2)

Terminology ini mulai dimasukkan ke dalam bahasa Latin melalui terjemahan surat Klemens, dan di situ kita baca misalnya, ‘plebeius homo laicis praescriptis datus est’ (seorang awam diikat oleh ketentuan bagi kaum awam). Dalam bahasa Latin kata ‘plebs’ (rakyat jelata) akan menjadi semacam term teknis bagi kaum awam.

Tertulianus mulai menggunakan kata ‘ordo’, ia membedakan ‘ordo sacerdotalis’ dan ‘ordo ecclesiae’, yang terakhir ini ialah kaum awam. Ordo mengacu pada satu lapisan tertentu dalam masyarakat terstruktur, pada suatu status social dalam masyarakat Romawi. Maka kita lihat bahwa pada sekitar tahun 200 para pejabat dalam Gereja sudah menjadi suatu kelompok tersendiri baginya bisa digunakan kata ‘ordo’ dan dengan demikian secara otomatis mereka yang bukan pejabat juga menjadi golongan tersendiri ‘ordo plebis’, golongan rakyat jelata.

Pembentukan golongan klerus itu diperkuat lagi setelah agama Kristiani diakui secara resmi oleh Kekaisaran Romawi pada pemerintahan kaisar Konstantin. Setelah agama Kristiani menjadi agama Negara, maka dalam waktu singkat mayoritas warga kekaisaran menjadi orang Kristiani, dan selanjutnya kebanyakan orang dibaptis selagi bayi. Dengan demikian batas pemisahan antara laos – sebagai mereka yang beriman akan Yesus Kristus – dan yang bukan laos – orang tak beriman kristiani – mulai hilang dan selanjutnya istilah laos menandai golongan rakyat yang terpsah dari golongan elite dan para pemimpin jemaat, terutama uskup yang sekaligus mengambil alih tugas-tugas tertentu dalam Negara. Dengan demikian seorang laicus, seorang awam didefinisikan sebagai bukan imam, bukan pejabat, ia tidak termasuk ordo / status para klerus.

Untuk selanjutnya, terutama munculnya para rahib beserta gaya hidup mereka yang asketis, yang ditafsir sebagai pengunduran diri dari dunia, memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan gagasan awam; awam menjadi orang di dalam dunia, orang secular. Hidup membiara memang mulai sebagai gerakan awam, tetapi lama kelamaan semakin sering dituntut agar para imam hidup asketis seperti para rahib, menarik diri dari dunia, dan di pihak lain makin sering pula ada rahib yang ditahbiskan menjadi imam dan uskup. Yang penting pada tahap perkembangan ini ialah bahwa untuk selanjutnya baik para awam maupun para klerus diwarnai dan ditentukan oleh cara hidup tertentu. Para klerus hidup mirip dengan para rahib, mereka menarik diri dari dunia dengan konotasi hidup dekat dengan Allah, sedangkan para awam hidup tetap di dalam dunia, dengan konotasi hidup jauh dari Allah. Dengan demikian sebagian dari identitas dan gambaran awam yang kita temukan dewasa ini di dalam Gereja itu sudah terbentuk, tetapi masih ada beberapa aspek dan factor dalam perkembagan selama Abad Pertengahan yang cukup negative mempengaruhi gambaran tentang kaum awam itu.


© pada penulis: Georg Kirchberger, salah satu bagian yang ada dalam buku RANCANG BERSAMA – Awam – Klerus, penerbit Ledalero, Maumere, 2006