ENSIKLIK
PAUS YOHANES PAULUS II

“CENTESIMUS ANNUS”
(ULANG TAHUN KE SERATUS)

KENANGAN ULANG TAHUN KESERATUS
ENSIKLIK “RERUM NOVARUM”


            KEPADA SAUDARA-SAUDARA YANG TERHORMAT DALAM EPISKOPAT KEPADA KAUM ROHANIWAN DAN TAREKAT-TAREKAT RELIGIUS KEPADA UMAT BERIMAN DALAM GEREJA KATOLIK DAN KEPADA SEMUA ORANG YANG BERTINDAK BAIK.

            Saudara-saudara yang Terhormat, Para Putera-Puteri yang terkasih, Salam Sejahtera dan Berkat Apostolik.

CA.1. ULANG TAHUN KESERATUS diumumkannya Ensiklik, yang diawali dengan kata-kata ”Rerum Novarum”[1], oleh Pendahulu kami Paus Leo XIII yang dikenang penuh hormat, mempunyai makna penting sekali dalam sejarah Gereja pun juga di masa Kepausan kami sekarang. Keistimewaannya ialah, bahwa Ensiklik itu telah dikenang melalui dokumen-dokumen resmi para Paus sejak ulang tahunnya yang keempat puluh hingga yang kesembilan puluh. Dapat dikatakan, bahwa perjalan bersejarah Ensiklik ”Rerum Novarum” ditandai dengan dokumen-dokumen lain,  yang menyatakan penghargaan terhadapnya pun sekaligus menerapkannya pada situasi semasa[2].
            Kami putuskan untuk berbuat demikian pula pada ulang tahunnya yang keseratus atas permohonan banyak para Uskup, Lembaga-Lembaga Gereja, pusat-pusat studi, para majikan dan kaum pekerja, sebagai perorangan maupun selaku anggota perserikatan-perserikatan. Terutama kami ingin menyampaikan ucapan syukur seluruh Gereja kepada Sri Paus itu atas ”dokumennya yang abadi”[3]. Maksud kami menunjukkan pula, bahwa limpah arus yang mengalir dari sumber itu pada tahun-tahun yang silam tidak terhentikan, bahkanjustru semakin deras. Itu jelas ternyata dari pelbagai prakarsa yang mendahului, yang kini menyertai dan yang masihakan menyusul perayaannya. Inisiatif-inisiatif itu didukung oleh Konferensi-Konferensi Uskup, badan-badan internasional, pelbagai universitas dan akademi, oleh sejumlah serikat kaum cendekiawan lembaga-lembaga lain, dan oleh banyak pribadi di mana-mana.

CA.2. Ensiklik ini ikut menyemarakkan perayaan itu, untuk mengucap syukur kepada Allah, sumber ”setiap pemberian yang baik dan setiap kurnia yang sempurna” (Yak 1:17), karena Ia telah menggunakan dokumen yang seratus tahun yang lalu telah diterbitkan oleh Takhta Petrus itu, untuk mengerjakan karya baik seagung itu dan memancarkan cahaya seterang itu dalam Gereja dan di dunia. Kenangan sekarang ini dimaksudkan untuk menghormati Ensiklik Paus Leo dan sekaligus Ensiklik-Ensiklik maupun dokumen-dokumen para Pendahulu kami lainnya, yang banyak berjasa untuk menghadirkan kembali Ensiklik Paus Leo dan meningkatkan daya-gunanya di sepanjang masa, dengan mewujudkan apa yang kemudian disebut ”ajaran sosial” atau ”asas-asas sosial” atau juga ”Magisterium sosial Gereja”.
            Kewibawaan ajaran itu sudah diutarakan dalam dua Ensiklik yang kami terbitkan tentang masalah sosial di masa Kepausan kami: yakni ”Laborem Exercens” tentang kerja manusia, dan ”Sollicitudo Rei Socialis” tentang masalah-persoalan aktual pengembangan manusia maupun bangsa-bangsa[4].

CA.3. Yang kami kehendaki sekarang ialah, supaya Ensiklik Paus Leo dibaca ulang untuk ”menilik kembali” naskahnya, supaya ditemukan lagi harta-kekayaan asas-asas dasar, yang dirumuskannya untuk memecahkan soal kondisi para pekerja. Tetapi serta merta kami anjurkan untuk ”melihat kiri-kanan”, mengamati ”hal-hal baru” di sekitar kita, yang boleh dikatakn membanjiri kita. Hal-hal itu sering jauh berbeda  dengan ”hal-hal baru”, yang menandai dasawarsa terakhir abad yang lalu. Akhirnya kami anjurkan untuk ”memandang masa depan”, karena millenium ketiga era kristianisudahdi ambang pintu, penuh ketidak-pastian, tetapi juga sarat janji-janji. Ketidak-pastian maupun janji-janji itu menantang akalbudi dan daya-cipta kita, serta membangkitkan tanggungjawab kita sebagai murid-murid Kristus ”satu-satunya Guru” kita (bdk. Mat 23:8), untuk menunjukkan ”jalan”, menyatakan ”kebenaran” dan mewartakan ”kehidupan”, yakni Kristus sendiri (bdk. Yoh 14:6).
            Demikianlah bukan hanya akan dinyatakan sekali lagi nilai ajran yang lestari, melainkan akan nampak juga makna sejati Tradisi Gereja, yang selalu hidup dan sangat penting, dan bertumpu pada dasar yang diletakkan oleh para leluhur kita dalam iman, serta terutama pada dasar yang oleh para Rasul atas nama Yesus Kristus telah diwariskan kepada Gereja[5] sedangkan ”tiada dasar lain dapat diletakkan oleh siapa pun juga” (1 Kor 3:11).
            Tergerakkan oleh kesadaran akan tugas beliau sebagai pengganti Petrus, Paus Leo XIII membahas persoalannya, dan sekarang in ipengganti beliau terdorong oleh kesadaran itu juga. Seperti beliau dan para Paus sebelum dan sesudah beliau, kamimengulangi gambaran Injil tentang ahli Taurat yang menerima  pelajaran tentang Kerajaan Surga, dan oleh Tuhan diibaratkan ”Tuan Rumah”, yang mengeluarkan dari perbendaharaannya harta yang baru maupun yang lama” (Mati 13:52). Khasanah agunglah Tradisi Gereja, yang mencantum harta yang ”lama” dan tiada hentinya menerima serta menyalurkannya, sekaligus juga mempersilakan kita untuk menafsirkan harta yang ”baru”, gelanggang berlangsungnya kehidupan Gereja dan dunia.
            Di antara harta baru, yang karena ditampung dalam Tradisi menjadi ”lama”, dan yang menyediakan kesempatan-kesempatan maupun bahan sehingga Tradisi sendiri dan kehidupan iman diperkaya olehnya, termasuklah juga kegiatan subur orang-orang tak terbilang jumlahnya, yang terdorong oleh ajran sosial Magisterium berusaha mematuhinya sesuai denga ntugas mereka di dunia. Entah mereka bertindak sebagai perorangan atau –seperti sering terjadi-tergabung dalam kelompok-kelompok, serikat-serikat atau organisasi-organisasi, mereka itu membangkitkan gerakan besar untuk melindungipribadi manusia serta martabatnya. Di tengah peristiwa-peristiwa sejarah yang silih bergantigerakan itu sungguh besar jasanya bagi pembangunan masyarakat yang adil, atau setidak-tidaknya untukmengendalikan dan mengurangi pelanggaran-pelanggaran keadilan.
            Maksud Ensiklik ini ialah memperlihatkan kesuburan asas-asas yang dicanangkan oleh Paus Leo XIII, termasuk pusaka ajaran Gereja, dan karena itu diteguhkan oleh kewibawaan Magisterium. Tetapi keprihatinan pastoral mengajak kami pula untuk menyajikan penelaahan beberapa kejadian sejarah akhir-akhir ini. Tak usah diulangi, bahwa termasuk tugas para Gembala: menyimak dengan seksama rentetan peristiwa-peristiwa, supaya terungkaplah kebutuhan-kebutuhan baru akan pewartaan Injil. Tetapi bukanlah maksud penelitian  ini untuk menyampaikan penilaian-penilaian definitif, sebab itu tidak per se termasuk bidang khsusus Magisterium.

BAB I
CIRI-CIRI ENSIKLIK”RERUM NOVARUM”

CA.4. Menjelang akhir abad yang lalu Gereja menghadapi proses sejarah, yang sudah berlangsung beberapa waktu lamanya, tetapi pada saat itu mencapai titik kritis yang cukup gawat. Yang terutama menyebabkan proses itu ialah keseluruhan perubahan-perubahan yang amat penting di bidang politik, ekonomi dan sosial, tetapi juga di bidang ilmu-pengetahuan dan teknologi, selain itu juga besarnya pengaruh ideologi-ideologi yang merajalela. Di bidang politik hasil perubahan-perubahan itu ialah faham baru tentang masyarakat dan Negara, oleh karena itu juga tentang pemerintahan. Struktur masyarakat tradisional mengalami pembongkaran, dan mulai muncullah struktur lain, disertai harapan akan bentuk-bentuk kebebasan yang baru, tetapi juga bahaya-bahaya bentuk-bentuk baru ketidak-adilan dan perbudakan.
            Di bidang ekonomi, kancah pertemuan penemuan-penemuan serta penerapan praktis ilmu-pengetahuan, lambat-laun tercapailah struktur-struktur baru dalam produksi barang-barang siap pakai. Telah tampillah corak baru harta-milik, yakni modal, dan corak  baru kerja, yakni kerja demi upah, ditandai dengan tingkat produksi yang intensif, tanpa perhatian yang wajar terhadap jenis, umur atau kondisi keluarga, melainkan ditentukan semata-mata oleh daya-guna, untukmenambah keuntungan.
            Demikianlah kerja diperdagangkan, dapat dibeli dan dijual di pasar, harganya ditetapkan oleh hukum kebutuhan dan tawaran, tanpa mengindahkan hal-hal yang sungguh diperlukan untuk menghidupi manusia perorangan beserta keluarganya. Kecuali itu bagi pekerja bahkan tidak ada kepastian dapat menjual ”hasil kerjanya sendiri”, karena selalu terancam oleh pengangguran yang, karena sama sekali tidak ada jaminan sosial, praktis berarti kemungkinan kelaparan.
            Perubahan itu mengakibatkan pembagian masyarakat ”menjadi dua golongan yang...terpisah oleh jurang yang lebar”[6]. Keadaan itu disertai perubahan yang makin besar di bidang politik. Demikianlah teori politik yang ketika itu tersebar luas memperjuangkan kebebasan sepenuhnya di bidang ekonomi melalui perundang-undangan yang cocok, atau sebalik nya, dengan sengaja mengabaikan intervensi mana pun juga. Sementara itu muncul dan terbentuklah secara terorganisasi dan tak jarang disertai kekerasan, faham hak-milik dan kehidupan ekonomi lain lagi, yang menuntut struktur politik dan sosial yang baru.
            Ketika pertentang itu memuncak, dan dengan jelas nampaklah di banyak daerah ketidak-adilan sosial yang serba kejam serta bahaya revolusi yang dilontarkanolehpandangan-pandangan yang pada waktu itu disebut ”sosialis”, Paus Leo XIII memasuki gelanggang melalui dokumen yang berwibawa, dan yang secara sistematis membahas kondisi para pekerja. Ensiklik beliau itu didahului oleh beberapa Ensiklik lain yang lebih mengulas, tatanan-tatanan politik, dandisusul oleh Ensiklik-ensiklik lain lagi[7]. Dalam situasi zaman itu terutama layak dikenang Ensiklik ”Libertas Praestantissimum”, yang menegaskan hubungan hakiki kebebasan manusia dengan kebenaran sedemikian rupa, sehingga kebebasan, yang menolak ikatan dengan kebenaran, terjerumus  ke dalam kesewenang-wenangan, dan akhirnya jatuh ke dalam perhambaan kepada nafsu-nafsu yangpaling keji dan penghancuran diri. Sebab di manakah letak sumber segala kemalangan, yang mau ditanggulangi oleh Ensiklik ”Rerum Novarum”, kalau bukandalam keleluasaan, yang di bidang kegiatan ekonomi dan sosial menyimpang dari kebenaran?
            Paus Leo XIII juga menimba inspirasi dari ajaran para Pendahulu  beliau dan dari banyak dokumen para Uskup, dari penelitian-penelitianlah yang dikembangkan oleh kaum awam, dari kegiatan gerakan-gerakan serta serikat-serikat katolik, dan dari hasil-hasil kegiatan di bidang sosial selama pertengahan kedua abad XIX.

CA.5. ”Hal-halbaru”, yang ditanggapi oleh Paus, sama-sekali bukan hal-hal baik. Dalam alinea pertama Ensiklik beliau menguraikan ”hal-halbaru”-yang dijadikan judulnya (”Rerum Novarum”)-dengankata-kata yang tegas-tandas: ”Bila bangkitlah keinginan akan hal-hal baru, yang memang sudah lama menggoncangkan bangsa-bangsa, akibat yang akan muncul ialah: bahwa usaha-usaha perombakan suatu ketika akan melampaui bidang politik dan akan berpengaruh juga atas bidang ekonomi yang berkaitan dengannya. Memang kemajuan-kemajuan  di bidang industri, usaha-usaha baru yang muncul, perubahan hubungan timbal-balik antara majikan dan buruh, melimpahnya kekayaan sekelompok kecil di samping kemelaratan banyak orang, bertumbuhnya sikap percaya diri maupun meningkatnya antar-hubungan di kalangan para pekerja, tambahanpula kemerosotan akhlak, faktor-faktor itu semua telah menyebabkan pecahnya konflik sekarang ini”[8].
            Maka Paus Leo, dan bersama beliau Gereja maupun khalayak ramai, menghadapi masyarakat yang terpecah-belah karena pertentangan yang semakin sengit dan mengganas, karena mengesampingkan segala asas maupun aturan. Itulah konflik antara modal dan kerja, atau-menurut istilah Ensiklik-masalah ”kondisi kaum pekerja”. Tentang konflik itulah, yang ketika itu berlangsung dengan amat sengitnya, Paus tanpa ragu-ragu mengungkapkan pandangan beliau.
            Di sini pertama-tama perlu direnungkan hikmah Ensiklik untuk zaman sekarang. Menghadapi konflik yang mempertentangkan manusia dengan manusia bagaikan ”serigala melawan serigala”, konflik pula antara mereka yang nyaris kehilangan rezeki dan mereka yang hidup serba mewah, Paus Leo tidak ragu-ragu untuk dengan kewibawaan beliau mengambil peranan, berdasarkan kesadaran akan ”tugas apostolik” beliau[9], yakni tugas yang beliau terima dari Yesus Kristus untuk menggembalakan anak-anak domba maupun domba-domba”(bdk. Yoh 21:15-17) dan ”melepaskan serta mengikat di dunia” untuk Kerajaan Surga (bdk. Mat 16:19). Jelas maksud Paus ialah mengembalikan damai Pembaca Ensiklik ketika itu tak mungkin tidak menangkap kecaman beliau secara terang-terangan terhadap pertentangan kelas[10]. Tetapi beliau sungguh menyadari, bahwa damai hanya dapat dibangun berdasarkan keadilan: Pokok utama Ensiklik ialah, menegaskan kondisi-kondisi dasar keadilan dalam situasi ekonomi dan sosial ketika itu[11].
            Begitulah Paus Leo XIII, mengikti jejak para Pendahulu beliau, menaruh teladan bagi Gereja selanjutnya. Sebab Gereja menyampaikan pesan-pesannya bagi kondisi-kondisi manusiawi tertentu, yang bersifat perorangan maupun kolektif, pada tingkat nasional maupun internasional. Tentang itu semua Gereja menyampaikan ajaran yang sejati, suatu keseluruhan ajaran, yang memungkinkannya untuk menelaah kenyataan-kenyataan sosial, menyajikan pertimbangan-pertimbangan dan menggariskan pedoman-pedoman tentangnya, untukmemecahkan soal-soal yang muncul dari padanya.
            Pada zaman Paus Leo XIII pengertian semacam itu tentang hak dan kewajiban Gereja jauh belum lazim diterima. Sebab terutama terdapat dua pendekatan yang satu: terarah kepada dunia ini dan hidup di dunia dengan mengesampingkan iman semata-mata; yang lain terarah kepada keselamatan atas-duniawi melulu tanpa menerangi atau mengarahkan kehadiran manusia di dunia ini. Maksudnya Paus menerbitkan Ensiklik ”Rerum Novarum” ketika itu memberi Gereja semacam ”status kewarga-negaraan di tengah pergolakan peristiwa-peristiwa yang menyangkut masyarakat maupun hidup kenegaraan; dan posisi itu selanjutnya memang mendapat peneguhan. Sesungguhnyalah menyampaikan dan menyebarluaskan ajaran sosial termasuk tugas Gereja untuk mewartakan Injil dan merupakan sebagian pewartaan kristiani. Sebab ajaran itu memaparkan konsekuensi-konsekuensi langsung pewartaan itu bagi kehidupan masyarakat; lagipula kerja sehari-hari danperjuangan demi keadilan berkenaan dengannya memang selaras dengan kesaksian akan Kristus Sang Penyelamat. Ajaran itu juga menjadi sumber kesatuan dan damai dalamkonflik-konflik, yangmau tak mau timbul di bidang sosial ekonomi. Dengandemikian mungkinlah menhadapi situasi-situasi baru tanpa memerosotkan keluhuran pribadi manusia dalam dirinya atau dalam lawan-lawan, serta membawanya kepada pemecahan yang adil.
            Sekarang ini, sesudah seratus tahun, kekuatan hasrat itu membuka kemungkinan bagi kami untukmemberi sumbanngan bagi pengembangan ”ajaran sosial kristiani”. ”Evangelisasi baru”, yang dewasa ini sangat dibutuhkan oleh duinia dan yang seringkali kami tekankan, di antara unsur-unsurnya yang paling pokok harus mencakup pewartaan ajaran sosial Gereja. Seperti pada zaman Paus Leo XIII, sekarang pun ajaran itu amat sesuai untuk menunjukkan jalan yang tepat dalam menanggapi tantangan-tantangan aktual yang cukup berat, sementara masyarakat makin kehilangan kepercayaannya akan ideologi-ideologi. Seperti telah dilakukan oleh Paus Leo, perlulah kami ulangi, bahwa tanpa Injil itu dapat ditemukan ruang untuk memahami ”hal-hal baru” dengan cermat, lagi pula perspektif moral yang tepat untuk mempertimbangkannya.

CA.6. Dengan maksud untuk menyoroti konflik antara modal dan kerja, Paus Leo XIII telah menegaskan hak-hak asasi para pekerja. Maka dari itu prinsip untuk membaca Ensiklik Paus Leo ialah martabat pekerja sendiri, dan oleh karena itu martabat kerja, yang dapat dirumuskan begini: ”Inilah makna kerja: berjerih-payah untuk memperoleh apa yang dibutuhkan untuk mencapai pelbagai sasaran hidup, teristimewa untuk melestarikan kehidupan”[12]. Sri Paus menandaskan, bahwa kerja bersifat ”pribadi”, ”sebab energi untuknya terikat pada pribadi; dan daya kekuatan itu khusus menjadi milik dia yang mengerahkannya, dan yang memanfaatkan hasilnya”[13]. Begitulah kerja termasuk panggilan setiap pribadi; memang benar, dengan bekerja manusia mengungkapkan dan menyempurnakan diri. Sekaligus kerja mempunyai dimensi ”sosial” karena hubungannya dengan keluarga maupun dengan kesejahteraan umum. Sebab ”sungguh benar, hanya berkat jerih-payah kaum pekerjalah Negara-Negara menjadi kaya”[14]. Pokok-pokok itu telah kami ulangi dan kami kembangkan dalam Ensiklik ”Laborem Exercens”[15].
            Sudah pasti asas lain yang penting ialah: asas hak atas milik perorangan[16]. Besarnya ruang yang oleh Ensiklik disediakan bagi tema itu sudah menunjukkan betapa pentingnya. Sri Paus sungguh menyadari, bahwa milik perorangan tidak mempunyai bobot mutlak; beliau juga tiada hentinya menegaskan prinsip-prinsip yang harus melengkapinya; misalnya: bahwa harta-benda bumi dimaksudkan untuk semua orang[17].
            Di lain pihak memang benar juga, bahwa jenis milik perorangan, yang terutama dimaksudkan oleh Sri Paus, ialah pemilikan tanah[18]. Tetapi itu tidak berarti, seolah-olah alasan-alasan yang beliau kemukakan untuk melindungi milik perorangan, yakni untuk menegakkan hak untuk memiliki apa paun yang perlu bagi pertumbuhan pribadi maupun pengembangan keluartga sendiri-entah bagaimana pun bentuk konkrit hak itu-sekarang ini sudah tidak berlaku lagi.
            Hal itu perlu ditegaskan sekali lagi di tengah perubahan-perubahan yang sedang kita saksikan pada sistim-sistim, yang semula dikuasai oleh pelimilikan kolektif upaya-upaya produksi, begitu pula di tengah bertambahnya indikasi-indikasi kemiskinan, atau lebihtepat: di tengah rintangan-rintangan terhadap pemilikan perorangan yang muncul di banyak wilayah dunia, termasuk pula di mana berlakulah sistim-sistim, yang mendasarkan diri pada pengakuanhak atas milik perorangan. Karena perubahan-perubahan tersebut tadi, punjuga karena tetap masih ada kemelaratan, maka sungguh amat perlulah penyelidikan lebih mendalam mengenai seluruh masalahnya, seperti masih akan disajikan dalam Ensiklik ini.

CA.7. Sehubungan erat dengan hak atas milik perorangan, Ensiklik Paus Leo XIII juga menegaskan hak-hak lainnya, yang menyangkut pribadi manusia dan tidak dapat dirampas dari padanya. Di antaranya, mengingat banyaknya ruang yang oleh Sri Paus disediakan untuknya maupunbobot yang beliau berikankepadanya, yang amat penting ialah: ”hak kodrati manusia untuk membentuk serikat-serikat swasta”. Itu berarti bahwa buruh melulu[19]. Itulah alasannya, mengapa Gereja melindungi dan menyetujui pembentukan kelompok-kelompok pekerja, yang laxim disebutserikat pekerja: pasti bukan karena prasangka-prasangka ideologi, atau sebagai konsesi terhadap mentalitas kelas; melainkan karena hak untuk membentuk serikat secara khas merupkan ”hak kodrati” manusia, oleh karean itu mendhaului keanggotaan mereka dalam masyarakat politik. Sebab ”Negara dibentuk untuk melindungi hak kodrati”, bukan untuk menghapuskannya; maka bila Negara melarang para warganya untuk membentuk serikaty, Negara menentang prinsip keberadaannya sendiri.”[20]
            Adapun bersama dengan hak itu-dan ini perlu ditekankan –yang oleh Sri Paus secara eksplisit diakui sebagai hak para pekerja, atau untuk menggunakan istilah beliau, hak ”kelas buruh”, Ensiklik dengan sama jelasnya menegaskan hak atas ”pembatasan jam kerja”, hak atas masa-masa istirahat, hak anak-anak dan kaum wanita atas perlkauan yang berbeda sehubungan dengan jenis maupun lamanya kerja[21].
            Kalau selanjutnya diperhatikan apa yang tercatat dalam sejarah tentang alasan-alasan yang dianggap sah, atau sekurang-kurangnya tidak dilarang oleh hukum, mengenai perjanjian kerja yang tidak memberi jaminan apa pun tentang jam-jam kerja atau kondisi-kondisi kesehatan umum di tempat kerja, dan sama seklai mengabaikan umur maupun jenis para calon pekerja, sungguh dapat difahami betapa serius pernyataan Sri Paus. ”Keadilan dan perikemanusiaan”, tulis beliau, ”tidak mengizinkan, bahwa sedemikian beratlkah tuntutan kerja, sehingga karena tertindih oleh beban kerja yang berlebihan jiwa manusia menjadi tumpul, dan karena kelelahan badannya jatuh sakit”.Dan sementara Sri Paus dengan lebh cermat menjelaskan arti kontrak untuk menjamin pelaksanaan ”kondisi-kondisi kerja”, beliau menegaskan: ”Dalam setiap kewajiban yang secara timbal-balik disanggupi oleh para majikan  dan kaum buruh, selalu harus dicantumkan atau tersirat secara implisit persyaratan, bahwa dijamin adanya kesempatan istirahat yang sewajarnya, untuk mengimbangi tenaga yang disita oleh pekerjaan”. Pada akhirnya beliau katakan: ”Kesepakatan yang menyimpang dari padanya merupakan tindakan yang tidak terhormat”[22].

CA.8. Sri Paus langsung mengingatkan suatu hak lain yang ada pada pekerja selaku pribadi,yakni hak atas ”upah yang adil”. Hak itu tidak boleh ditentukan ”atas kesepakatan yang sukarela antara pihak-pihak yang bersangkutan: seolah-olah majikan, sesudah membayar upah yang disepakati, sudah memenuhi kesanggupannya, dan rupa-rupanya tidak wajib berbuat lebih lagi”[23]. Ketika itu dikatakan, bahwa Negara tidak berwenang untuk campur tangan dalam penentuan unsur-unsur kontrak, kecuali untuk menjamin, supaya apa yang secara eksplisit telah disepakati dilaksanakan seutuhnya. Pengertian seperti itu tentang hubungan antara majikan dan buruh, yang bersifat pragmatis melulu dan diilhami oleh individualisme yang kejam, dengan keras dikecam oleh Ensiklik, karena bertentangan dengan dua segi kerja, yakni sebagai kenyataan yang bersifat pribadi dan merupakan kebutuhan. Sebab bila kerja, sejauh bersifat pribadi, termasuk lingkup kebebasan setiap orang untuk menggunakan bakat-kemampuan serta daya-kekuatannya sendiri, kerja sebagai suatu kebutuhan termasuk kewajiban berat setiaporang untuk ”menjamin kelestarian hidupnya”. Maka Sri Paus menyimpulkan: ”Tak dapat lain muncullah dari situ hak untuk mendapatkan upaya-upaya guna memelihara kehiduapn: dan hanya upah yang diperoleh melalui kerjalah yang membuka kemungkinan bagikaum miskin untuk mendapatkannya”[24].
            Gaji pekerja harus mencukupi untuk menghidupi keluarganya. ”Bila karena kebutuhan memaksanya, atau ia terdorong oleh rasa takut akan ditimpa nasib yang lebih buruk lagi, seorang pekerja menerima kondisi kerja yang lebih keras, dan kendati tidak mau ia toh harus menerimanya, karena itu dipaksakan oleh majikan atau pemborong, itu berarti ia menjadi korban kekerasan dan ketidak-adilan”[25].
            Ah, seandainay kata-kata, yang ditulis ketika apa yang disebut ”kapitalisme yang leluasa” makin merajalela itu, sekaran gtidak usah diulang-ulangi lagi degnan sama kerasnya. Akan tetapi sungguh sayanglah! Sekarang pun terdapat contoh-contoh kontrak, yang tidak sedikitpun menghiraukan keadilan, mengenai soal kerja anak-anak atau kaum wanita, mengenai jam-jam kerja dan kesehatan kondisi  di tempat-tempat kerja, mengenai upah yang adil. Itu semua toh masih terjadi, betapa pun banyaknya pernyataan-pernyataan dan sidang-sidang internasional tentang masalah itu[26], maupun undang-undang intern bangsa-bangsa yang mendukung keadilan. Menurut Sri Paus termasuk ”tugas yang bukan sembarangan dan cukup berat” bagi ”para penguasa yang sungguh memperhatikan rakyat”, untuk dengan tekun mengusahakan keselamatan dan kesejahteraan para pekerja; sebab bila tugas-tugas itu dilalaikan, keadilan dilanggar. Bahkan Sri Paus tidak ragu-ragu berbicara tentang ”keadilan distributif”[27].

CA.9. Masih ada hak lain lagi yang kemudian oleh Paus Leo XIII ditambahkan kepada hak-hak itu, dan yang menyangkut kondisi para pekerja juga. Karena hak itu amat penting, kami ingin sekali menyebutkannya, yakni: hak untuk denganbebas memenuhi kewajiban-kewajiban keagamaan. Sri Paus memang menempatkannya di antara hak-hak dan tugas-tugas para pekerja lainnya, meskipun pandangan yang hampir umum ketika itu menganggap,bahwa beberapa soal melulu termasuk hidup perorangan. Beliau menandaskan lagiperlunyaistirahat hari raya, supaya manusia mengangkat pandangannya kepada perkara-perkara surgawi, dan kepada ibadat yang wajib dipersembahkan kepada Allah yang Mahaagung[28]. Tidak seorang pun dapat merebut hak manusia ini, karena didasarkan pada suatu perintah yang jelas juga: ”Tidak seorang pun boleh melanggar tanpa dihukum martabat manusia, yang oleh Allah sendiri diperlakukan penuh hormat”. Maka Negara wajib mengukuhkan bagi pekerja sendiri penggunaan kebebasan itu[29].
            Memang amat tepatlah pandangan siapa pun, yang menganggap pernyataan yang sangat jelas itu sebagai titik-tolak prinsip tentang hak atas kebebasan beragama, yang kemudian menjadi tema pokok banyak Pernyataan resmi dan Sidang-sidang internasiona[30]l, begitu pula tema Pernyataan Konsili Vatikan II dan berulang kali tema pengajaran kami[31]. Dalam konteks itu diperlukan, betulkah hukum-hukum yang berlaku sekarang ini dan kebiasaan masyarakat-masyarakat industri memang sungguh menjamin pelaksanaan hak mendasar atas istirahat hari raya itu.

CA.10. Suatu aspek penting lainnya, yang dengan pelbagai cara dapat diterapkan pada zaman sekarang, ialah faham hubungan antara Negara danpara warganya. Ensiklik ”Rerum Novarum” mengeritik kedua sistem sosial dan ekonomi, yakni Sosialisme dan Liberalisme. Sosialisme dibahas secara khusus di bagian pembukaan Ensiklik, yang sekali lagi menegaskan hak atas milik perorangan. Sedangkan Liberalisme memang tidak secara khas dibicarakan dalam bagian tertentu, melainkan-dan ini tidak secara khas dibicarakan dalam bagian tertentu, melainkan-dan ini layak dicatat-kritik-kritik dilontarkan terhadapnya, bila ditelaah kewajiban-kewajiban Negara[32]. Sebab Negara tidak boleh ”meng-anak-emaskan sebagian para warganya”, yakni mereka yang kaya dan serba mampu, sedangkan ”sebagian di-anak-tirikannya”, yakni yang jelas-jelas merupkan sebagian terbesar masyarakat. Sebab kalau begitu dilanggarlah keadilan, yang mewajibkan supaya setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya. ”Dalam melindungi hak-hak perorangan mereka yang tak berdaya dan miskinlah, yang terutama meminta perhatian. Sebab golongan yang kaya mempunyai cara-caranya sendiri untuk membela diri, dan tidak begitu perlu dilindungi oleh pemerintah; sedangkan rakyat jelata tidak mempunyai upaya mana pun juga untuk melindungi diri, sehingga sangat tergantung  dari perlindungan Negara. Maka dari itu kaum buruh, yang termasuk golongan kaum miskin, perlu secara istimewa diperhatikan dan dilindungi oleh pemerintah”[33].
            Adapun sekarang ini pedoman-pedoman itu sangat relevan, melihat meluasnya bentuk—bentuk baru kemiskinan di dunia, lagi pula mengingat, bahwa pernyataan-pernyataan itu tidak lagi tergantung pada faham tertentu tentang Negara atau pada teori politik yang khusus. Sebab di sini Sri Paus menekankan prinsip utama sistim politik mana pun juga, yakni: semakin warganegara perorangan tidak terlindungi dalam masyarakat, semakin ia memerlukan bantuan dan perhatian yang intensif dari pihak sesama, dan terutama perlindungan dari pihak pemerintah.
            Demikianlah apa yang sekarang ini disebut ”prinsip solidaritas”, dan yang daya-kekuatannya-baik dalam tata-sosial setiap bangsa maupun dalam tata internasional-telah kami uraikan dalam Ensiklik ”Sollicitudo Rei Socialis”[34], dimengerti sebagai salah-satu prinsip dasar bagi pandangan kristiani tentang tata-sosial dan tata-politik. Seringkali pula prinsip itu dikemukakan oleh Paus Leo XIII dengan istilah ”persahabatan”, suatu gagasan yang sudah terdengar pada para filsuf Yunani. Paus Pius IX menyebutnya dengan istilah penuh makna: ”cinta kasih sosial”; sedangkan Paus Paulus VI berbicara tentang ”peradaban cinta kasih”[35], sambil memperluas faham itu untuk meliputi banyak aspek modern pada masalah sosial.

CA.11. Pembacaan ulang Ensiklik dalam terang kenyataan-kenyataan zaman sekarang memungkinkan kita untuk menghargai perhatian dan dedikasi Gereja terus menerus terhadap golongan-golongan masyarakat yang secara khas dikasihi oleh Tuhan Yesus sendiri. Sebab isi dokumen itu merupakan kesaksian yang gemilang tentang apa yang disebut ”pilihan untuk mengutamakankaum miskin”, yagn tiada hentinya mewarnai kehidupan Gereja. Pilihan itu kami rumuskan pula sebagai ”bentuk istimewa prioritas dalam mengamalkan cinta kasih kristiani”[36]. Demikianlah Ensiklik Paus Leo XIII tentang ”masalah para pekerja” merupakan Ensiklik tentang kaum miskin, sekaligus tentang kondisi-kondisi hidup yang mengerikan, yang proses industrialisasi yang baru dan tak jarang penuh kekerasan ditimpakan pada massa besar manusia. Tetapi sekarang pun di banyak daerah di dunia ini proses-proses perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik yagn serupa menciptakan situasi-situasi yang sama buruknya.
            Adapun bila Paus Leo XIII mendorong Negara untuk menyehatkan kondisi kaum miskin menurut norma keadilan, tentulah langkah itu beliau ambil, karena beliau menyadari pada waktunya, bahwa Negara wajib mengurusi kesejahteraan umum, dan menjamin supaya setiap bidang kehidupan sosial, termasuk pula bidang ekonomi, memberi sumbangannya untuk meningkatkan  kesejahteraan itu, sementara otonomi masing-masing bidang tet ap dihormati. Tetapi janganlah ada yang terbawa unutk beranggapan, seolah-olah menurut Paus Leo Negara sajalah yang boleh diharapkan memecahkan semua kesukaran sosial. Sebaliknya bahkan seringkali beliau menegaskan perlunya pembatasan terhadap campur tangan Negara, dan menekankan sifatnya sebagai upaya, karena setiap orang perorangan dan keluarga serta kelompok mendahului Negara, dan karena tujuan Negara ialah melindungi hak-hak mereka, bukan menindasnya[37]. Adapun relevansi gagasan-gagasan tadi untuk  zaman sekarang sudah jelas bagi siapa pun juga. Sudah selayaknya pula kami kemudian masih kembali un tuk menguraikan  tema penting tentang batas-batas yang ada pada Negara menurut hakekatnya. Sementara itu pokok-pokok yang tadi telah disoroti (pasti bukan hanya itu saja yang terdapat dalam Ensiklik) memang sungguh selaras dengna ajaran sosial Gereja, pun dalam rangka pengertian sehat tentang milik dan kerja perorangan, tentan gposese ekonomi serta kenyataan Negara, dan terutama tentang manusia sendiri. Kemudian masih akan disebutkanmasalah-maslaah lain juga, bila aspek-aspek tertentu situasi zaman sekarang akan diselidiki. Tetapi sekarang juga dan seterusnya perlu disadari benang merah dan dalam arti tertentu asas pemandu bagi Ensiklik Paus Leo XIII, begitu pula bagi seluruh ajaran sosial Gereja, yakni pengertian yang saksama tentang pribadi manusia beserta nilainya yang istimewa. Sebab ” di dunia manusia. Itu satu-satunya ciptaan yang oleh Allah dikehendaki demi dirinya sendiri”[38]. Sebab dalam diri manusialah Allah telah memahat gambaran-Nya sendiri (bdk. Kej 1:26). Kepadanyalah Allah mengurniakan martabat yang tiada bandingnya, seperti seringkali telah ditekankan oleh Ensiklik. Sesungguhnya, di samping hak-hak yang  oleh manusia diperoleh berkat kerjanya, masih ada pula hak-hak lain yang tidak berhubungan dengan kerja mana pun juga yang dilakukannya, melainkan yang bersumber pada martabatnya sendiri sebagai pribadi.


BAB II
MENGHADAPI ”HAL-HAL BARU” ZAMAN
SEKARANG.

CA.12. Perayaan kenangan akan Ensiklik ”Rerum Novarum” sama sekali takkan lengkap, seandainya situasi zaman sekarang tidak ditelaah juga. Mengingat prinsip-prinsip yang tercantum di dalamnya saja dokumen itu sudah cocok sekali sebagai pegangan untuk pembahasan semacam itu. Sebab lukisan historis peristiwa-peristiwa maupun prognose masa depan yang disajikan secara sungguh mengagumkan ternyata cermat saksama, bila dipertimbangkan apa yang terjadi sesudah Ensiklik.
            Secara khusus penilaian itu ternyata dibenarkan oleh pergolakan-pergolakan, yang terjadi pada bulan-bulan terakhir tahun 1989 dan pada bulan-bulan pertama tahun 1990. Sebab perubahan-perubahan radikal di dunia itu dan yang terjadi sesudahnya hanya dpat diterangkan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi sebelumnya, yang sampai batas tertentu telah mengejawantahkan prakiraan-prakiraan Paus Leo XIII dan tanda-tanda zaman yang semakin memburuk, seperti diamat-amati juga olehpara Pengganti beliau. Paus Leo sudah sebelumnya menangkap konsekuensi-konsekuensi negatif dalam segala seginya-politi, sosial, ekonomi, -yang ditimbulkan oleh tata masyarakat berhaluan ”Sosialisme”, yang ketika itu baru diselidiki melalui suatu filsafah sosial, dan yang dianggap sebagai gerakan yang kurang lebih cukup teratur. Barangkali sekarang mengherankan,bahwa Sri Paus dalam mengritik cara-cara yang ketika itu ditempuh untuk memecahkan ”masalah pekerja” memulai dengan ”Sosialisme”, karena sistem itu belum diwujudkan dalam bentuk suatu Negara yang perkasa dan tangguh, beserta segala sumber daya dan kekuatannya yang tersedia, seperti akan ternyata kemudian. Tetapi dengan peka beliau menyadari bahaya, jangan-jangan massa rakyat dikelabui oleh pemecahan semu yang sederhana dan radikal, seperti ketika itu dikemukakan untuk menanggulangi ”masalah pekerja”. Apalagi itu menjadi jelas, bila soalnya ditinjau dengan mengingat kondisi ketidak-adilan yang mengerikan, yang melanda kelas-kelas pekerja pada bangsa-bangsa yang baru saja mengalami industrialisasi.
            Dua halperlu ditekankan di sini: Pertama, betapa jelas Sri Paus memahami keadaan kaum buruh yang sesungguhnya, dengan segala kengeriannya, pria, wanita maupun anak-anak. Kemudian, sejelas itu pula beliau menyadari kejahatan yang ada di balik ”pemecahan soal”, yakni usaha merombak posisi kaum miskin dan kaum kaya menurut kenyataan justru merugikan mereka yang maksudnya mau ditolong. Jadi upaya untuk mengatasi kejahatan justru lebih buruk lagi dari kejahatannya sendiri. Dalam merumuskan hakekat Sosialisme ketika itu, yakni penghapusan milik perorangan, Paus Leo XIII sungguh menyentuh inti persoalan.
            Amanat beliau layak dibaca ulang dengan cermat: ”Untuk menanggulangi situasi yang buruk itu kaum Sosialis menghidup-hidupkan rasa iri kaum miskin terhadap orang-orang kaya. Mereka mempertahankan bahwa milik perorangan harus  dihapus, dan sebagai ganti harta-kekayaan perorangan harus dijadikan milik kolektif semua orang....Akan tetapi sistim kaum Sosialis itu begitu jelas tak berdaya untuk menyelesaikan pertentangan, sehingga justru merugikan golongan pekerja sendiri. Selain itu juga sangat tidak adil, karena merampas para pemilik yang sah, memutarbalikkan fungsi Negara, dan menimbulkan kekacauan besar dalam masyarakat”[39]. Tak dapat ditunjukkan dengan lebih jelas malapetaka, yang diakibatkan oleh sistem Sosialisme semacam itu, yang utuh-utuh menguasai Negara sebagai lembaga, dan yang kemudian disebut ”Sosialisme Reil”.

CA.13. Bila ajaran yang telah kita terima itu masih mau diperdalam lagi, mengingat pula apa yang tercantum dalam Ensiklik kami ”Laborem Exercens” dan ”Sollicitudo Rei Socialis”, maka masih perlu ditambahkan, bahwa kesesatan ”Sosialisme” yang mendasar terletak di bidang antropologi. Sebab di situ manusia dianggap sebagai suatu unsur melulu, suat molekul semata-mata dalam organisme sosial, sehingga harta perorangan terbawahkan belaka kepada berfungsinya mekanisme sosial-ekonomi. Menurut anggapan ”Sosialisme”, harta perorangan itu tidak usah dikaitkan dengan kehendak bebas manusia atau dengan tanggungjawabnya atas kebaikan maupun kejahatan. Demikianlah faham manusia diperdangkal menjadi serangkaian hubungan-hubungan sosial-ekonomi, dan lenyaplah fahampribadi sebagai pengemban bebas keputusan moril, sebagai subyek yang dengan keputusan-kpeutusannya membangun tatasosial. Salah-pengertian tentang pribadi itu membuahkan pemutarbalikan hukum yang menggariskanbatas-batas kebebasan pribadi serta persyarakatannya, pun juga penghapusan milik perorangan. Sebab bila manusia dirampas segala-galanya, sehingga tiada apa pun yang dapat disebut ”miliknya”, dan bila ia direbut kemungkinannya untuk mencari nafkah melalui kerja atas pilihannya sendiri, ia menjadi tergantung dari ”mesin” sosial dan dari mereka yang menjalankannya. Maka dari itu pengakuan martabat pribadi manusia menjadi lebih sulit, dan dengan demikian ditutuplah jalan menuju pembentukan rukun hidup manusiawi yang sejati.
            Sebaliknya dari ajaran kristiani tentang pribadi tidak dapat disimpulkan lain kecuali visi yang tepat tentang masyarakat. Menurut ”Rerum Novarum”, begitu pula menurut ajaran sosial Gereja pada umumnya, hakekat sosial manusia sama sekali tidak terserap penuh oleh Negara, melainkan dikembangkan dalam aneka serikat lainnya pada taraf di bawahnya, mulai dari keluarga samapi pelbagai serikat ekonomi, sosial, politik dan budaya, yang bertumpu pada kodrat manusia-selalu dengan mengindahkan kesejahteraan umum-dan mempunyai otonominya sendiri. Justru itulah yang pernah kami sebut ”subyektivitas masyarakat”, dan yang bersama dengan subyektivitas perorangan telah dihapus oleh ”Sosialisme Reil”[40]. Kalau selanjutnya ditanyakan: manakah sumber pengertian salah tentang pribadi manusia maupun ”subyektivitas” masyarakat itu, jawabannya tidak lain ialah, bahwa keduanya berasal terutama dari ateisme. Bila manusia menaggapi Allah sendiri, yang memanggilnya melaluikenyataan-kenyataan di dunia ini, ia menjadi sadar akan martabatnya yang melampaui kenyataan keduniaan. Setiap orang wajib memberi jawaban itu, yang merupakan puncak realitas orang wajib memberi jawaban itu,yang merupakan puncak realitas manusiawinya, dan yang tidak dapat digantikanoleh mekanisme sosial atau subyek kolektif mana pun juga. Akan tetapi bila orang mengingkari Allah, ia merongrong dasar pribadinya sendiri. Hal itu akan mendorong ke arah perombakan tata masyarakat, tanpa menghiraukan sedikit pun kewibawaan dan martabat pribadi.
            Ateisme yang sendang dibicarakan itu berhubungan erat juga dengan rasionalisme zaman ”Penerangan”, yang memandang kenyataan manusiawi bagaikan mesin. Demiian ditolaklah pengharapan tinggi terhadap keluhuran manusia yang sejati, begitu pula keunggulannya terhadap hal-hal duniawi, pertentangan dalambatinnya karena ia terombang-ambingkan antara keinginan akan terpenuhinya apa yang baik dan ketidak-mampuannya untuk mencapai pemenuhan itu, dan terutama aspirasinya akan keselamatan yang muncul dari situasi itu.

CA.14. Dari sumber dan sistim ateisme itu pula dijabarkan cara mimilih upaya-upaya yang termasuk tindakan khas Sosialisme, dan yang dikecam oleh ”Rerum Novarum”. Yang dimaksudkan ialah perjuangan kelas. Sudah barang tentu Sri Paus tidak bermaksud mengecam semua dan setiap bentuk konflik sosial. Sebab Gereja menyadari juga, bahwa di antara pelbagai golongan sosial praktis pasti akan timbul konflik-konflik kepentingan tertentu; dan menghadapi itu semua umat kristinai sering harus menentukan pendiriannya, dengan terus terang dan tepat. Ensiklik ”Laborem Exercens” pun mengakui sungguh wajarnya konflik, yang berlansung ”untuk memperjuangkan keadilan sosial”[41]. Dalam Ensiklik ”Quadragesimo Anno” tertulis : ”Sebab bila perjuangan kelas tidak dijiwai oleh sikap bermusuhan dan saling membenci, pergumulan itu lambat-laun beralih menjadi diskusi yang jujur, berdasarkan aspirasi akan keadilan”[42].
            Perjuagan kelas yang terutama dikecam ialah suatu perjuangan yang tidak dikendalikan oleh pertimbangan-pertimbangan etis atau yuridis, dengan kata lain, tidak mengakui martabat pribadi lain (dan karena itu juga merendahkan martabatnya sendiri); dengan demikian setiap kompromi yang wajar dikesampingkan; sasarannya sama sekali bukan kesejahteraan masyarakat, melainkan kepentingan khusus sebagai ganti kepentingan umum; dan hendak menyingkirkanapa saja yang menjadi palang-perintang. Akhirnya dialihkanke bidang pertentangan antar kelas sosialajaran tetang ”perang total:, yang pada zaman itu ditimbulkan oleh militarisme danimperialisme dalam relasi-relasi antar bangsa. Usaha untuk menciptkan keseimbangan yagn wajar antara pelbagai bangsa digantikan dengan kaidah yang menguntungkan , yakni bahwa kepentingan sendiri bagaimana pun juga harus diutamakan, juga dengan menggunakan kebohongan, teror terhadapwarga masyarakat, senjata penumpasan total (yang ketika itu sudah mulai direkayasa_, untuk melumpuhkan daya-lawan musuh-musuh. Jadi perjuangan kelas baik menurut Marxisme maupun menurut haluan militarisme sama saja akarnya: keduannya bersumber pada ateisme dan penghinaan pribadi manusia; maka prinsip kekuatan diutamakan terhadap asas akalbudi yang sehat maupun hukum.

CA.15. Ensiklik ”Rerum Novarum” menentang penguasaan upaya-upaya produksi oleh Negara, sebab dengan demikian setiap warga masyarakat menjadi ibarat sebagian melulu dalam roda bergigi mesin Negara. Sekaligus Ensiklik itu sama gigihnya melawan kaidah-kaidah, yang menempatkan bidang perekonomian di luar kompetensi Negara semata-mata. Memang benarlah, bidang perekonomian mempunyai suatu otonomi yagn wajar, dan tidak boleh dicampuri oleh Negara. Akan tetapi Negara wajib juga menetapkan persyaratan yuridis sebagai rambu-rambu bagipengembagnan ekonomi, dan dengan demikian menjamin asas-asas dasar tentang kebebasan ekonomi, yang menuntut suatu keseimbangan antara pihak-pihak yang berkepentingan, jangan sampai ada pihak tertentu yang berkuasa sedemikian rupa, sehingga pihak-pihak lainnya diperalat semata-mata[43].
            Dalam hal itu Ensiklik ”Rerum Novarum” menganjurkan suatu cara pembaharuan yang adil, untuk mengembalikan nilai tinggi kerja sebagai kegiatan manusia yang bebas. Pembaharuan itu menuntut kesadaran bertanggung jawab dari pihak masyarakat maupun dari pemerintah, supaya pekerja dilindungi terhadap tekanan kegelisahan yang amat berat, jangan-jangan terpaksa menganggur. Di masa lampau itu diusahakan melalui dua faktor yang bersamaan arah: baik melalui  kebijakan ekonomi yang bermaksud menjaminpertumbuhan ekonomi yang seimbang, maupun melalui jaminan terhadap pengangguran yang terpaksa dan melalui program-program penataran ketrampilan dan kejuruan, supaya kaum pekerja secara berangsur-angsur dapat beralih dari sektor-sektor kerja yang lemah dan sedang merosot kepada sektor-sektor yang sedang mengalami kemajuan.
            Selain itu masyarakat dan Negara wajib mengusahakan pemberian upah sedemikian rupa, sehingga pekerja beserta keluarganya mendapat nafkah yang memadai, dan masih mempunyai sekedar tabungan. Di sini diperlukan usaha dan daya-upaya yang cukup besar untuk membekali kaum pekerja dengan kepadnaian dan ketrampilan yang semakin memadai, sehingga kerja mereka pun semakin andal dan produktif. Tetapi dibutuhkan juga kewaspadaan terus menerus, didukung degnan perundang-undangan yang memadai, supaya teratasilah eksploitasi yang kejam, pertama-tama terhadap kaum pekerja yang tak berdaya, para imigran, dan mereka yang tersisihkan dari masyarakat. Di bidang ini sungguh pentinglah peranan serikat-serikat pekerja, yang menuntut upah minimal dan kondisi kerja yang memadai.
            Akhirnya hendaklah dijamin, supaya jam-jam kerja bersifat manusiawi dan ada istirahat yang memadai, begitu pula hak untuk mengungkapkan kepribadian masing-masing di tempat kerja sendiri, tanpa suarahati atau martabatnya dilanggar. Di sinilah hendaknya disebutkan lagi peranan serikat-serikat pekerja, yang bukan hanya merupkan upaya untuk mengadakan kontrak, melainkan juga ”ruang” bagi para pekerja untuk mengungkapkan diri. Sebab serikat-serikat itubukan hanya mendukung bertumbuhnya budaya kerja tertentu, melainkan membantu para pekerja juga untuk ikut merasakan hidup sungguh manusiawi di lingkungan kerja mereka[44].
            Untuk mencapai sasaran-sasaran itu Negara harus berperanserta secara langsung atau tidak langsung. Secara tak langsung dan menurut prinsip subsidiaritas, dengan memperbaiki kondisi-kondisi, untuk secara bebas menjalankan kegiatan perekonomian, yagn akan membuka amat banyak kesempatan kerja dan menjadi sumber kekayaan. Secara langsung dan menurut prinsip solidaritas, dengan menetapkan batas-batas tertentu terhadap otonomi pihak-pihak, yang menentukan kondisi-kondisi kerja, sehingga merek ayang tak berdaya dilindungi, begitu pula denganmenjamin, supaya pekerja yang sedang mengaggur mendapat bantuan minimal yang sangat diperlukannya[45].
            Ensiklik ”Rerum Novarum” dan ajaran sosial Gereja yang berkaitan dengannya selam amasa peralihan dari abad XIX ke abad XX mempunyai aneka pengaruhganda. Pengaruh itu ternyata dari usaha-usaha pembaharuan yang tak terbilang jumlahnya, yakni berupa jaminan-jaminan sosial serta uang pensiun maupun asuransi kesehatan dan kompensasi bila terjadi kecelakaan, yakni berdasarkan penghargaan lebih tinggi terhadap hak-hak kaum pekerja[46].

CA.16. Sebagian pembaharuan-pembaharuan itu diadakan oleh pelbagai Negara, tetapi untuk mewujudkannya besarlah peranan gerakan kaum pekerja. Didorong oleh kesadaran moril, gerakan itu muncul untuk menanggulangi pelanggaran-pelanggaran keadilan dansituasi-situasi yagn merugikan, dan memperjuangkan pembaharuan-pembaharuan yang meluas di kalangan serikat-serikat pekerja, dengan menjauhkan diri dari beberapa ideologi yang kabur, dan denganperhatian sepenuhnya terhadap kaum pekerja beserta kebutuhan-kebutuhan mereka sehari-hari. Di bidang ini perjuangan gerakan itu bergabung dengan usaha  umat kristiani, supaya perubahan kondisi-kondisi hidup kaum pekerja berlangsung lebih lancar. Akan tetapi kemudian gerakan itu dalam arti tertentu dikuasai oleh ideologi Marxis, yagn disanggah oleh Ensiklik ”Rerum Novarum”. Pembaharuan-pembaharuan itu sebagian juga merupakan hasil suatu proses terbuka masyarakat yang menata diri dengan baik, degnan secara efektif mengerahkan upaya-upaya solidaritas, untuk mengelola suatu perkembangan ekonomi, yang lebih mengindahkan nilai-nilai pribadi. Di sini layaklah dikenangkan aneka macam usaha, yang terselenggara dengan bantuan uamt kristiani yang cukup berarti juga, untuk membentuk badan-badan para podusen maupun para konsumen, dan koperasi-koperasi simpan-pinjam uang, untuk meningkatkan taraf pendidikan rakyat pada umumnya serta lebih khusus lagi menyelenggarakan pendidikan kejuruan, untuk mengadakan eksperimen-eksperimen berupa pelbagai bentuk partisipasi dalam kehidupan di tempat kerja dan dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
            Oleh karena itu, menilik masa yang silam, memang cukup beralasanlah kita bersyukur kepada Allah, bahwa Ensiklik yang luhur itu samasekali bukannya tanpa gema-pantulan dalam hati banyak orang, bahkan telah mendorong ke arah jawaban yang menampilkan kebesaran jiwa dan kemahiran. Tetapi jangan kita lupakan pula, bahwa amanat kenabian yang disampaikan oleh ensiklik itu tidak diterima sepenuhnya oleh khalayak ramai ketika itu. Justru karena itulah telah timbul bencana-bencana yang dahsyat.

CA.17. Kalau Ensiklik ”Rerum Novarum” kita baca dalam konteks kekayaan seluruh ajaran Paus Leo[47], ternyatalah bahwa dokumen itu pada dasarnya menunjuk kepada konsekuensi-konsekuensi suatu kesesatan di bidang sosial-ekonomi, yang bahkan lebih luas dampaknya. Seperti telah kami sebutkan, kesesatan itu terletak pada ajaran tentang kebebasan manusia, yang melepaskannya dari sikap patuh terhadap kebenaran, maka dari itu juga dari kewajiban mengindahkan hak-hak sesama. Begitulah kebebasan menjadi cinta diri hingga penghinaan terhadap Allah dan sesama. Cinta diri itu tanpa batas memuja kepentingan sendiri, dan sama sekali tidak mau dikendalikanoleh keadilan[48].
            Kesesatan itu menimbulkan akibat buruk sekali dalam rangkaian perang-perang, yang menghancurkan benua Eropga dan dunia antara tahun 1914 dan 1945. Perang-perang itu meletus akibat militarisme dan nasionalisme ekstrim, dan akibat bentuk-bentuk  totalitarisme yang berkaitan dengannya. Ada pula yang disebabkan oleh perjuangan kelas. Selain itu ada perang-perang saudara dan pertempuran berdasarkan ideologi. Tanpa kebencian yang memuncak dan kedengkianitu, yang dikobarkan oleh ketidak-adilan sosial antara bangsa-bangsa  maupun di dalam negeri sendiri , sudah tentu tidak akan terjadi perang-perang sekeji itu, yang menyerap semua daya-kekuatan bangsa-bangsa  dan golongan-golongan sosial tertentu. Masih jelas terkenang nasib bangsa Yahudi, yang sekarang dipandang sebagai lambang kejahatan amat mengerikan, yagn dapat dijalankan oleh manusia yang memberontak melawan Allah.
            Adapun kebencian dan kejahatan sama seklai merasuki bangsa-bangsa dan mendesaknya ke arah tindakan-tindakan nyata, bila disahkan oleh ideologiideologi dan diselaraskan degnannya, yang lebih didasarkan atasnya dari pada bertumpu pada kebenaran tentang manusia[49]. Ensiklik ”Rerum Novarum” memerangi ideologi-ideologi yang mengobarkan kebencianitu, dan sekaligus menunjukkan jalan untuk menyingkirkan kekerasan dan kedengkian melalui keadilan. Semoga kenangan akan peristiwa-peristiwa yagn menimbulkan bencana itu mengarahkan langkah-perbuatan semua orang, khususnya para pemimpin bangsa-bangsa di masa sekarang, zamannya pelbagai bentuk lain ketidak-adilan menghidup-hidupkan kebencian baru, zaman munculnya ideologi-ideologi baru, yang mempropagandakan kekerasan!

CA.18. Memang sejak tahun 1945 di Eropa tidak ada pertempuran senjata lagi. Tetapi hendaknya diingat , bahwa damai yang sejati tidak tercapai dengan kemenangan militer melulu, melainkan terutama mengandaikan, bahwa sebab-musabab perang disingkirkan, dan bahwa terwujudkan kerukunan antar bangsa yang tulus. Sudah bertahun-tahun lamanya situasi di Eropa dan di seluruh dunia lebih tepat dipandang sebagai situasi ”tiada perang”, dari pada sebagai situasi damai yang sejati. Diktatur Marxis menguasai separuh benua Eropa, sedangkan yang separuh lainnya berusaha mengelakkan bahaya itu. Banyak bangsa kehilangan kedaulatannya sendiri dan lumpuh tercengkam terkungkung dalam batas-batas regim tertentu, sedangkan kenangan sejarah maupun akar-akar kebudayaan mereka yang sudah berabad-abad umurnya terancam kepunahan. Akibat pembagian benua Eropa dengan kekerasan itu sudah tidak terhitung masa orang-orang, yang terpaksa meninggalkan tanah air mereka sendiri, atau dideportasikan secara paksa.
            Perlombaan senjata yang kegila-gilaan menguras sumber-sumber daya, yang diperlukan untuk mengembangkan ekonomi-ekonomi nasional dan untuk membantu bangsa-bangsa yang belum terkembangkan. Kemajuan ilmu-pengetahuan maupun teknologi, yang seharusnya diabadikan kepada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, dijadikan upaya perang. Ilmu-pengetahuan dan teknologi dikerahkan untuk produksi senjata-senjata yang semakincanggih dandestruktif. Sedangkan dari ideologi, yang memutarbalikkan filsafat yang sejati, dicari dalih-dalih untuk membenarkan tindakanmengangkat senjata lagi. Dan perang itu bukan hanya diperkirakan sebelumnya dan disiapkan, melainkan kenyataanya memang dijalankan dengan pertumpahan darah yang keji di banyak wilayah dunia. Sistim blok-blok antar bangsa dan antar Negara, yang dikecam dalam dokumen-dokumen Gereja dan belum lama ini dalam Ensiklik ”Sollicitudo Rei Socialis”[50], menimbulkan situasi semua pertikaian dankonflik di kawasan Negara-Negara Dunia Ketiga dibangkitkan dan diperluas lingkupnya, sehingga Negara lawan terpojokkan oleh kesulitan-kesulitan.
            Kelompok-kelompok revolusioner, yang berusaha memecahkan konflik-konflik itu dengan mengankat senjata, dengan mudah mendapat dukungan politik dan militer, danmereka dipersenjatai serta memang sudah terlatih untuk berperang. Sebalinya, mereka yang berusaha memecahkan persoalan secara damai dan penuhperikemanusiaan, dan yang tetap menghormati hak-hak yang wajar semua pihak, mengalami isolasi dan dikepung oleh lawan-lawan mereka. Lagi pula, militarisasi banyakNegara Dunia Ketiga dankonflik-konflik dalam negeri yang mereka alami, begitu pula berkembang biaknya terorisme dan penggunaan  upaya-upaya yangmakin biadab untukmelancarkan konflik-konflik politik dan militer, terutama justru didukung oleh damai yang tidak stabil, yang menyusul Perang Dunia II. Apalagi seluruh dunia tertekan oleh ancaman perang atom yang dapat menghancur-leburkan umat manusia.
            Akhirnya teknologi dan ilmu-pengetahuan, yang diabadikankepada kegiatanmiliter, menyediakan upaya yang amat efektif bagi kebencian yang memang masih diteguhkan lagi oleh beberapa ideologi. Tetapi karena perang yangmereka kobarkan dapat berakhir dengan kebinasaan umat manusia, tanpa ada pihak yang menang atau kalah, maka jalan yang membuka perang harus dihindarisama seklai. Sekaligus harus ditolak pendapat seolah-olah perjuanganuntuk membinasakan musuh , konfrontasi dan perang sendiri, merupakan faktor-faktor kemajuan dan perkembangan sejarah[51]. Bila perlunya penolakan itu difahami, sudah pasti masih harus dipertanyakan juga faham ”perang total”, begitu pula faham ”perjuangan kelas”.

CA.19. Tetapi menjelang akhir Perang Dunia II pandangan semacam itu baru sedang berkembang dalam kesadaran masyarakat umum. Adapun yang paling menyolok dannampak dengan jelasnya ialah: Totalitarisme Marxis meluas meliputi lebih dari separuh benua Eropa dan menjalar ke sebagian terbesar dunia. Jelas pula perang, yang semula dimaksudkan untuk mengembalikan kebebasan dan menegakkan kembalihak para bangsa,berakhir tanpa mencapai sasaran itu. Bahkan bagi banyak bangsa terutama bagi mereka yang menanggung keganasanperang, jelaslah perang itu justru bertentangan dengan maksud-maksud tadi. Dapat dikatakan,bahwa situasi yang diciptakan karenanya mengundang pelbagai tanggapan.
            Sesudah bencan perang, dengan berbagai cara nampaklah di berbagai bangsa usaha dan daya-upaya untuk membangun kembali masyarakat demokratis yang berhaluan keadilan sosial, untuk melucuti Komunisme sendiri dari kekuatan danmaksudnya untuk mengobarkan revolusi, seperti nampak pada massa rakyat yang tersiksa dan tertindas. Pada umumnya budi-day itu dimaksudkan untuk melestarikanmekanisme pasar bebas. Sementara itu-melalui sistem moneter yang stabil  dan keselarasan yang sejati dalam hubungan-hubungan sosial-mau diusahakan kondisi-kondisi untuk pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berlangsung secara teratur, supaya dengan bekerja bagi diri sendiri beserta keluarga mereka rakyat dapat membangun masa depan yang lebih sejahtera. Sementara itu pula dijalankan ikhtiar-ikhtiar untuk mencegah , jangan samapi mekanisme pasar dianggap sebagai tujuan terakhir bagi seluruh hidup manusia, dan untuk menaruhnya di bawah pengawasan umum, sehingga secara efektif ditegakkan prinsip, bahwa harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang.
            Dalam konteks itu lapangan kerja yang lebih luas, sistim jaminan sosial yang tangguh dan sekaligus menyediakan kerja, kebebasan untuk bergabung dengan serikat-serikat pekerja yang  mampu mengambil tindakan efektif, tersedianya bantuan bila ada pengangguran, wahana-wahana untuk secara demokratis berperan-serta dalam kehidupan sosial,itu semua dimaksudkan untuk membebaskan kerja sendiri dari kondisi-kondisi seolah-olah kerja diperdagangkan semata-mata, dan untuk menjamin martabat kerja.
            Kemudian ada pula kekuatan-kekuatan sosial dan gerakan-gerakan lainnya, yang menentang Marxisme dengan membentuk sistim ”keamanan sosial”, yang dengan cermat-waspada memantau seluruh masyarakat, untukmencegah infiltrasi dan merasuknya Marxisme. Ada pula yang mengira dapat melindungi rakyat terhadap Komunisme, dengan menyanjung-nyanjung  dan meningkatkan kekuasaan Negara. Tetapi dengan menempuh cara itu timbullah bahaya, jangan-jangan kebebasan maupun nilai-nilai pribadi lmalahan dihancurkan, padahal justru demi nilai-nilai itulah Komunisme perlu dilawan.
            Suatu pola tanggapan lain serinkali dilancarkan secara konkrit dalam masyarakat yang serba kaya atau konsumeristis. Masyarakat semacam itu berpandangan akan menaklukkan Marxisme dalam bidang materialisme melulu, dengan menunjukkan bahwa masyarakat pasar bebasa lebih mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia dari pada Marxisme, tetapi denganmengesampingkannilai-nilai rohani juga.
            Kenyataannya, pola tata-sosial seperti itu di satu pihak memang menunjukkan kegagalan usaha sistim Marxis untuk menciptakan masyarakat baru yang lebih baik; dilain pihak, sejauh merongrong otonomi kehidupan, keluhuran nilai moril dan hukum serta kebudayaan, maupun menyangkal pentingnya agama, tata-sosial itu sejalan dengan Marxisme, dan sama-sama memerosotkan manusia ke dalam bidang perekonomian melulu, dan ke dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani semata-mata.

CA.20.Selama periode itu juga makin meluaslah proses ”dekolonisasi”: banyak bangsa memperoleh atau merebut kembali kemerdekaan dan haknya, untuk secara bebas menentukan nasibnya sendiri. Tetapi dengan mendapat kembali kedaulatan politiknya itu Negara-Negara itu baru beranjak pada awal perjalanannya menuju kemerdekaan yang sejati. Sebab sektor-sektor ekonomi yang sangat menentukan masih dikuasai oleh perseroan-perseroan asing yang besar, yang tidak bersedia mengikat diri untuk ikut mengusahakan pembangunan jangka panjang bangsa yang menampungnya. Demikianlah kehidupan politik sendiri dikendalikanoleh kekuasaan-kekuasaan asing, sedangkan dalam kawasan nasional sendiri tetap masih terdapat suku-suku yang belum terintegrasikan menjadi kesatuan nasional yang sejati. Selain itu masih sungguh terasa kekurangan akan kelompok yang kompeten, untuk melaksanakan aparat pemerintahan dengan jujur dan saksama. Begitu pula masih dibutuhkan lembaga-lembaga yang kompeten, untuk secara efektif mengelola bidang perekonomian.
            Menghadapi situasi internasional sekarang ini, banyak sekali orang yangmasih mengira, bahwa Marxisme mampu merintis semacam jalan pintas untuk membangun Bangsa dan Negara. Maka muncullah aneka bentuk Sosialisme dengan ciri-ciri khas nasional. Tuntutan-tuntutan yang wajar akan kesejahteraan tanah air, pelbagai bentuk nasionalisme pun juga militarisme, begitu pula beberapa asas yang dijabarkan dari tradisi-tradisi rakyat-yang ada kalanya selaras juga dengan ajaran sosial kristiani,-beitu pula konsep-konsep Marxisme-Leninisme, itu semua bercampur-baur dengnabanyak ideologi, yang mengenakan pola yang serba berlain-lainan.

CA.21. Akhirnya perlu diingat juga, bahwa seusai Perang Dunia II, dan sebagai reaksi melawan kekejamannya, makin meluaslah keprihatinan yang kian mendalam akan hak-hak manusia, yang diakui dan diterima sepenuhnya olah berbagai Dokumen internasional[52], dan-boleh dikatakan-dengan penyusunan suatu ”Hak Bangsa-Bangsa” yang baru, yang selalu juga menampung sumbangan-sumbangan Takhta suci. Penopang dan bagaikan poros perkembangan itu ialah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tetapi bukansaja telah berkembang kesadaran akan hak-hak setiap manusia, melainkan juga akan hak-hak bangsa masing-masing, karena sekaligus tumbuhlah pemahaman, betapa perlunya tindakan yang nyata untuk menyerasikan berbagai ketidak-seimbangan yang gawat antara berbagai kawasan dunia. Dalam arti tertentu ketimpangan  di pelbagai bidang itu telah menggeser titikberat masalah sosial dari tingkat nasional ke arah taraf internasional[53].
            Sementara proses perkembangan itu kami kenangkan dengan senang hati, toh tidak boleh didiamkan saja, bahwa keseluruhan segala kebijakan bantuan untuk pembangunan tidak selalu mencapai hasil yang positif. Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri pun belum berhasil menciptakan upaya-upaya yang efektif untuk menyelesaikan konflik-konflik internasional tanpa melalui perang, yang di masa mendatang masih perlu dipecahkan oleh Keluarga bangsa-bangsa.


BAB III
TAHUN 1989

CA.22. Bertolak dari situasi dunia yang tadi telah dilukiskan, dan panjang-lebar diuraikan juga dalam Ensiklik ”Sollicitudo Rei Socialis”, dapat difahamilah makna yang tak terduga dan memberi harapan yang besar, yang tercantum dalam peristiwa-peristiwa tahun-tahun terakhir ini. Puncaknya tercapai pada kejadian-kejadian tahun 1989 di Negara-Negara Eropa Tengah dan Timur. Tetapi peristiwa-peristiwa itu meliputi jangka waktu jauh lebih panjang dan kawasan dunia yang jauh lebih luas. Sebab dalam dasawarsa 1980-an di beberapa Negara Amerika Latin, pun juga di Afrika dan Asia, berbagai pemerintah diktatorial dan opresif digulingkan. Di daerah-daerah lain mulailah perjalanan yang memang sulit tetapi berbuah subur, proses perombakan menuju struktur-struktur kenegaraan, yang memungkinkan partisipasi lebih luas dan menampakkan keadilan lebih mantap. Sumbangan yang amat berbobot, bahkan cukup menentukan, diberikan oleh kesanggupan Gereja untuk membela dan memantapkan hak-hak manusia. Sebab dalam situasi-situasi yang terpengaruh kuat oleh ideologi tertentu, sedangkan sejumlah aliran yang beraneka-ragam mengaburkan makna martabat semua orang, Gereja dengan jelas-tegas mengajarkan, bahw asetiapmanusia, entah bagaimana pun keyakinannya, mengemban citra Allah dalam dirinya, oleh karena itu memang selayaknya dihargai dan dihormati. Seringkali mayoritas rakyat menyetujui pernyataan itu. Maka dari itu dicari cara-cara perjuangan dan pemecahan masalah-persoalan politik yang lebih menghormati martabat pribadi.
            Selanjutnya dari proses sejarah itu muncullah bentuk-bentuk baru demokrasi, yang menimbulkan harapan akan berlangsungnya perubahan dalam keseluruhan struktur-struktur sosial-politik yang serba rapuh, pun masih juga dibebani oleh rangkaian ketidak-adilan dan kebencian, yang mengakibatkan banyak penderitaan, dan oleh keadaan ekonomi yang cukup0 parah, serta oleh konflik-konflik sosial yang sungguh gawat. Maka dari itu b ersama denganGereja semesta kami bersyukur kepada Allah atas kesaksian yang sering berjiwa kepahlawanan, yang dalam situasi sesukar itu telah diberikanoleh banyak para gembala, oleh jemaat-jemaat beriman secara keseluruhan, oleh orang-orang kristiani perorangan, dan oleh orang-orang lain yang beriktikad baik. Dan sekaligus kami mendoakan, supaya Allah berkenan menopang usaha-usaha semua orang, yang bertujuan membangun masa depan yang lebihabik. Sebab itu merupkan tanggung jawab bukan hanya para warga Negara-Negara yang bersangkutan, melainkan segenap umat kristiani dan semua orang yang berkehendak baik. Sebab memang perlu dibuktikan,bahwa masalah-persoalan serba kompleks yang dihadapi oleh bangsa-bangsa itu dapat dipecahkan melalui dialog dan solidaritas, tanpa perjuangan dan perang untuk membinasakan lawan.

CA.23. Di antara sekian banyak faktor, yang menyebabkan tumbangnya pemerintah-pemerintah yang diktatorial itu, ada beberapa yang layak disebutkan secara khusus. Sudah tentu suatufaktor yang menentukan yang menimbulkan pergolakan itu, ialah pelanggaran hak-hak kaum pekerja. Sebab tidak boleh dilupakan, bahwa krisis mendasar dalam pemerintahan-pemerintahan, yang berani mempropagandakan suatu kedaulatan, bahkan suatu diktatur atas kaum pekerja, mulai dengan timbulnya gerakan-gerakan besar di Polandia atas nama “Solidaritas”. Sebab massa para pekerja sendirilah, yang tegas-tegas menolak ideologi yangberdalih menyarakankepentingan mereka. Sedangkan mereka itu berdasarkan pengalaman kerja dan penindasan yang sungguh kejam dan pahit menemukan lagi dan bagaikan menyingkapkan isi dan asas-asas ajaran sosial Gereja.
            Layak pula dikemukakan: runtuhnya “blok” atau kekuasaan semacam itu hampir di mana-mana tercapai melalui perjuangan tanpa kekerasan, hanya bersenjatakankebenarand an keadilan. Marxisme berpendirian bahwa hanya dengan memperuncing konflik-konflik sosiallah pertikaian-pertikaian itu mungkin dipecahkan melalui konfrontasi dengan kekerasan. Sedangkan perjuangan yang mengakibatkan tumbangnya Marxisme dengan gigih tetap berdaya-upaya menempuh setiapcara perundingan, dialog dan kesaksian akan kebenaran, menyapa hatinurani pihak lawan, dan mencoba membangkitkan kesadaran mereka akan martabat pribadi semua orang.
            Nampaknya saja tata politik seluruh Eropa, yang dihasilkan oleh Perang Dunia II, dan dikukuhkan oleh Perjanjian Yalta, hanya dapat digulingkan melalui suatu perang yang lain lagi. Sebaliknya tata politik itu telah diatasi sama sekali tanpa tindakan dankesanggupan menggunakan kekerasan dari pihak kelompok-kelompok, yang tidak pernah mau menyerah kepada serangan-serangan kekerasan, dan secara berangsur-angsur menemukan cara-cara yang  efektif untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran. Itulahyang menyebabkan lawan kehilangan senjatanya. Sebab kekerasan selalu membutuhkan pembelaan dan pembenaran melalui kebohongan, dan menimbulkan kesan-kendati itu kesan yang palsu-seolah-olah sedang membela suatuhak atausedang menanggulangi ancaman-ancaman dari pihak-pihak lain[54]. Lagi kami mengucap syukur kepada Allah, yang telahmeneguhkan hatibanyak orang di tengah cobaan-cobaan yang berat, dan kamimemohon dalam doa, supaya teladan seperti itu dapat bermanfaat juga di lain tempat dan dalam situasi-situasi yang lain. Semoga banyak orang belajar memperjuangkan keadilan tanpa sedikit pun menggunakan kekerasan, menolak perjuangan kelas dalam konflik-konflik dalam negeri, dan menolak perang dalam menyelesaikan konflik-konflik internasional.

CA.24. Kemudian suatu faktor lain dalam krisis itu sudah  barang tentu ialah tidak efisiennya seluruh sistim perekonomian, yang tidak boleh dipandang melulu sebagai rintangan teknis, melainkan merupakan konsekuensi pelanggaran hak-hak manusia mengenai usaha swasta, pemilikan harta, dankebebasan di bidang ekonomi. Selain itu perlu ditambahkan dimensi budaya dan nasional. Sebab manusia memang tidak mungkin difahami melulu dari sudut ekonomi, atau didefinisikan semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam golongan tertentu masyarakat. Manusia dimengerti sepenuhnya, bila ia ditempatkan adalam suatu lingkup kebudayaan melalui bahasa dan sejarahnya, dan melalui posisi yang diambilnya terhadap peristiwa-peristiwa pokok hidupnya, misalnya terhadap kelahiran dan cinta kasih, terhadap kerja dan kematian. Akan tetapi inti setiap kebudayaan terletak pada sikap manusia terhadap rahasia yang paling mendalam, yaknimisteri Allah. Sebab kemacam-ragaman kebudayaan pada dasarnya merupakan keanekaan cara menanggapi pertanyaan tentang makna hidup setiap orang; bila pertanyaan itu ditiadakan, kebudayaan dan kehidpan moril bangsa-bangsa pun mengalami kehancuran. Oleh karena itu perjuangan untuk membela kerja manusia secara spontan dikaitkan dengan perjuangan demi kebudayaan dan hak-hak nasional.
            Akan tetapi yang sesungguhnya mengakibatkan perkembangan-perkembangan baru itu ialah kekosongan rohani, yang ditimbulkan oleh ateisme, yang menyebabkan generasi muda kehilangan arah yang tepat; pun tidak jarang menggerakkannya, untuk-dalam menelusuri jati-dirinya sendiri beserta makna hidupnya terdorong oleh hasrat yang tak terkendalikan-akhirnya menggali lagi urat-akar religius kebudayaan bangsa mereka, dan menemukan kembali pribadi Yesus Kristus sendiri, sebagai jawaban yang pada hakekatnya memadai terhadap kehausan akan kebenaran, kebaikan dankehidupan, yang tertanam di hati setiap orang. Usaha menelusuri jati-diri dan makna hidup itu diteguhkan juga oleh kesaksian mereka semua, yang tetap setia kepada Allah. Sebab dulu Marxisme telah berjanji untuk mengikis kebutuhan akan Allah dari hati manusia. Padahal hasil justru telah membuktikan, bahwa itu sama sekali tidak mungkin, kecuali dengan sungguh mengacau-balaukan hati manusia.

CA.25. Peristiwa-peristiwa tahun 1989 menyajikan contoh berhasilnyakemauan yangkuat untukberunding dan semangat Injil dalam menghadapi lawan yangberpendirian: tidak bersedia mengikat diri pada prinsip-prinsip moril. Selaigus kejadian-kejadian itu merupakan peringatan bagi siap pun, yangberdalihkan suatu “realisme politik” berusaha menyingkirkan hukum dan moralitas dari gelanggang politik. Jelaslah perjuangan, yang menghasilkan perubahan-perubahan pada tahun 1989, memerlukan pemikiran yang jernih dan pengendalian diri, serta menuntut penderitaan dan pengorbanan. Dalam arti tertentu perjuangan itu lahir dari doa, dan tidak terbayangkan tanpa kepercayaan tak terhingga akan Allah, Tuhan sejarah, yang bagaikan menaruh hati manusia dalam tangan-Nya. Maka dari itu bila manusia tahu menggabungkan penderitaannya demikebenaran dan kebebasan dengan kesengsaraan Yesus Kristus di salib, ia mampu mewujud-nyatakan mukjizat damai, pun juga mampu mengenali jalan yang seringkali sempit antara sikap berkecilhati yang menyerah saja kepada kejahatan di satu pihak, dan kekerasan di pihak lainnya, yang-dengan mengelabui diri seolah-olah mampu mengalahkan kejahatan-justru melipatgandakannya.
            Akan tetapi tidak dapat dilupakan, bahwa cara orang mengamalkan kebebasannya memang terikat pada banyak persyaratan : memang kondisi-kondisi itu mempengaruhi kebebasan, tetapi tidak mengekangnya; syarat-syarat itu dapat mempermudah atau mempersukar pelaksanaan kebebasan, tetapi tidak dapat menghancurkannya. Bukan saja ditinjau dari sudut etika manusia tidak boleh mengabaikan kodratnya, yang diciptakan untuk kebebasan; tetapi dalam kenyataan itu memang tidak mungkin juga. Sebab bilamana pun masyarakat ditata sedemikian rupa, sehingga seluruh bidang pengamalan kebebasan yang sewajarnya dipersempit dengan sewenang-wenang, atau bahkan ditiadakan sama sekali, akibatnya ialah, bahwa hidup kemasyarakatan lambat-laun semakin kacau-balau dan merosot.
            Lagi pula manusia, yang diciptakan untuk kebebasan, membawa serta luka-luka dosa asal, yang terus menerus menjuruskannya ke arah kejahatan, dan menyebabkannya membutuhkan penebusan. Bukan saja ajaran itu merupakan unsur integral perwahyuan kristiani, melainkan memberi penejelasan yangamat berharga dan penting sekali juga, karena sangat membantu untuk menyelami kebenaran tentang manusia. Sebab manusia memang menuju ke arah kebaikan, tetapi dapat juga berbuat jahat. Ia mampu melamapui kepentingannya yang langsung, tetapi toh masih terikat juga padanya. Oleh karena itu tata masyarakat akan kian stabil, semakin kenyataan itu diperhitungkan, dan kepentingan perorangan tidak dipertentangkannya terhadap kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan,melainkan dicari jalan untukmenyelaraskan keduannya, sehingga tercapailah hasil yang lebih baik lagi. Sebab di mana pun kepentingan perorangan ditindas secara paksa, itu digantikan dengan sistim pengawasan birokratis, yang menimbulkan tekanan berat, dan mengeringkan sumber-sumber prakarsa dan daya-cipta. Bila orang-orang mengira mengetahui rahasia terdalam tata masyarakat yang sempurna, seolah-olah sudah melumpuhkan segala bentuk kejahatan, mereka lalu mengira pula boleh menggunakan upaya mana pun juga, termasuk tipu-muslihat dan siasat-siasat yang kejam, untuk mewujudkan tata masyarakat itu. Kemudian ideologi politik menjadi semacam “agama sekular”, yang berpretensi semu, seakan-akan mampu menciptakan firdaus di dunia ini. Padahal tiada masyarakat politik, -yang mempunyai otonomi dan hukum-hukumnya sendiri[55],-boleh dicampuradukkan dengan Kerajaan Allah. Perumpamaan Injil tentang gandum dan lalang (bdk.Mat 13:24-30, 36-43) dengan jelas mengajarkan, bahwa Allah sendirilah yang akan memisahkan para warga Kerajaan dari anggota si Jahat, dan bahwa pengadilan itu akan berlangsung pada akhir zaman. Barangsiapa memberanikan diri untuk sejak sekarang ini mendahului pengadilan itu, ia menaruh diri di tempat Allah, dan melawan kesabaran-Nya.
            Berkat korban Kristus di salib sekali untuk selamanya kejayaan Kerajaan Allah telah tercapai. Tetapi kehidupan kristiani menuntut perjuangan melawan tipu-muslihat dan kekuatan kejahatan. Baru menjelang akhir sejarahlah Tuhan akan datang lagi dalam kemuliaan-Nya untukmenjatuhkan pengadilanterakhir (bdk. Mat 25:31), dengan membangun langit baru dan bumi baru (bdk. 2Ptr 3:13; Why 21:1). Tetapi di sepanjang sejarah pertempuran antara kebaikan dan kejahatan tetap akan mengamuk di lubuk hati manusia.
            Segala sesuatu, yang diajarkan olehKitab suci tentang kenyataan terakhir Kerajaan Allah, sekaligus membawa konsekuensi-konsekuensinya bagi kehidupan masyarakat ”temporal”, yang menurut istilahnya sendiri-memang tercakup dalam kurun waktu,beserta segala ketidaksempurnaan dan sifat sementaranya. Kerajaan Allah, yang berada di dalam dunia tanpa berasal dari dunia, menyinari tata masyarakat manusia, sementara daya-kekuatan rahmat merasukinya dan menghidupkannya. Begitulah tuntutan-tuntutan masyarakat yang sungguh layak bagi manusia difahami secara lebih gamblang; kesesatan-kesesatan dikecam; keberanian untukmengusahakan yang serba baik diteguhkan. Dalam persatuan dengan semua orang yang beriktikad baik, umat kristiani dan terutama kaum awam[56] dipanggil untuktugas menjiwai kenyataan-kenyataan manusia dengan Injil.

CA.26. Peristiwa-peristiwa tahun 1989 terutama berlangsung di Negara-Negara Eropa Timur dan Tengah. Tetapi kejadian-kejadian itu cukup bermakna dan berbobot bagi seluruh dunia, sebab menimbulkan konsekuensi-konsekuensi positif maupun negatif, yang menyangkut seluruh keluarga manusia. Konsekuensi-konsekuensi itu tidak berlangsung secara otomatis atau menyerupai takdir yang tak terelakkan; melainkan terutama membuka peluang-peluang bagi kebebasan manusia untuk bekerja sama dengan Rencana belaskasihan Allah yang bertindak dalam sejarah.
            Konsekuensi pertama di berbagai Negara ialah perjumpaan Gereja dengan gerakan kaum pekerja, yang dulu muncul sebagai suatu reaksi etis dan khususnya kristiani terhadap situasi ketidak-adilan yang sangat meluas. Selama kurang lebih satu abad gerakan itu sebagian berada di bawah dominasi Marxisme atas keyakinan, bahwa untuk melancarkan perlawanan efektif  terhadap penindasan, kaum pekerja harus menganut teori-teorinya yang berhaluan materialisme di bidang perekonomian.
            Di tengah proses hancurnya Marxisme tercetuslah ungkapan-ungkapan atas kemauan kaum pekerja sendiri, yang menyuarakan tuntutan keadilan serta pengakuan terhadap martabat kerja manusia menurut ajaran sosial Gereja[57]. Gerekan pekerja berpengaruh atas golongan para pekerja yang lebih besar dan mereka yang beriktikad baik, demi pembebasan pribadi manusia dan penegakan hak-haknya. Gerekan itu sekarang ini tersebar di banyak Negara, sama sekali tidak menentang Gereja Katolik, malahan menyimak langkah-langkahnya penuh perhatian.
            Krisis Marxisme sama sekali tidak menyingkirkan darimuka bumi situasi-situasi ketidak-adilan dan penindasan, yang oleh Marxisme sendiri disalah-gunakan sewenang-wenang sebagai jalan untuk mengembangkan diri. Akan tetapi kepada mereka , yang sekarang ini sedang mencari pandangan dan pelaksanaan yang baru dan otentik untuk mengusahakan pembebasan Gereja bukan hanya menyajikan ajaran sosialnya, dan pada umumnya pengajarannya tentang pribadi manusia yang ditebus oleh Kristus, melainkan menyumbangkan juga jasa-bantuannya yang kongkrit dan sungguh berarti, supaya jangan ada lagi orang-orang yang terdesak ke pinggiran masyarakat atau menanggung penderitaan.
            Belum lama ini hasrat yang tulus untuk memihak mereka yang tertindas dan untuk tetap mengikuti arus perkembangan sejarah telah mendorong banyak orang beriman untuk dengan aneka cara mencari kompromi antara Marxisme dan visi kristiani, dan itu ternyata sama sekali tidak mungkin. Melampaui segala sesuatu yang dalam usaha-usaha itu ternyata tidak efektif, zaman sekarang inimalahan mendorong, supaya ditegaskan lagi nilai positif teologi seutuhnyta tentang pembebasan manusia yang menyeluruh[58]. Ditinjau dari sudut itu, peristiwa-peristiwa  tahun 1989 akhirnya ternyata penting sekali juga bagi Negara-Negara Dunia Ketiga, yang sedang merintis jalan pembangunannya, seperti telah diusulkan sebelumnya oleh Negara-Negara Eropa Tengah dan Timur.

CA.27. Konsekuensi kedua menyangkut bangsa-bangsa Eropa sendiri. Banyak sekali tindakan melanggar keadilan, yang telah terjadi terhadap perorangan maupun masyarakat, terhadap daerah-daerah dan bangsa-bangsa tertentu selama masa merajalelanyaKomunisme, bahkan juga sebelumnya. Ketika itu kebencian danpermusuhan semakin menjadi-jadi. Sekarang ada bahaya sungguh nyata, jangan-jangan dengan runtuhnya pemerintah diktatorial ketidakadilan, kebencian dan permusuhan itu muncul lagi dengan dahsyatnya, dan mengundang konflik-konflik yang gawat serta menimbulkan penderitaan-penderitaan yang berat, kalau perjuangan moril itu serta usaha penuh kesadaran untuk memberi kesaksian tentang kebenaran akan mengendor. Padahal perjuangan itulah yang dimasa lampau telah mendorong usaha-usaha. Oleh karena itu mudah-mudahan saja kebencian dan kekerasan jangan sampai merajalela dihati orang-orang, terutama mereka yang memperjuangkan keadilan;melainkan semoga semua orang semakin dijiwai semangat damai dan pengampunan.
            Tetapi yang diperlukan ialah berbagai keputusan konkrit untuk menciptkan atau memantapkan berbagai struktur internasional, yang sebagai penengah dengan tindakan-tindakan yang tepat memainkan peranan dalam konflik-konflik internasional, sehingga masing-masing bangsa mampu mengakkan hak-haknya sendiri, dan tercapailah persetujuan yang adil dan keseepakatan damai seturut hak-hak bangsa-bangsa lain. Itu semua terutama dibutuhkanbagi Negara-Negara Eropa, yang saling berhubungan erat berdasarkan ikatan kebudayaan bersama dan sejarah berabad-abad lamanya. Diperlukan usaha raksasa, supaya bangsa-bangsa yang telha menolak Komunisme, mengalami pembaharuan di bidang tata-susila dan perekonomian. Sebab sudah cukup lama hubungan-hubungan yang mendasar di bidang ekonomi serba timpang dan tidak wajar, dan keutamaan-keutamaan dasar kehidupan ekonomi, misalnya: kejujuran, sifat layak dipercaya dan kerja keras, dikesampingkan saja. Diperlukan pembaharuan penuh kesabaran di bidang materiil dan moril. Sebab bangsa-bangsa yang menanggung keadaan parah karena sampai lama serta terlantar menghendaki, supaya pemerintah-pemerintahnya memperbuahkan hasil-hasil konkrit dan langsung berupa kesejahteraan tertentu, dan supaya aspirasi-aspirasinya yang wajar dipenuhi sebagaimana layaknya.
            Gugurnya Marxisme besar sekali dampaknya atas pembagian dunia dalam beberapa kawasan yang saling tertutup, yang satu melawan yang lain, dan kesemuannya saling menyaingi. Keruntuhanitu selanjutnya memperjelas kenyataan,betapa bangsa-bangsa saling tergantung; begitu pula,bahwa jerih-payah manusia pada hakekatnya dimaksudkan untuk menghimpun, dan bukan lagi untuk mencerai-beraikan bangsa-bangsa. Sebab damai dan kesejahteraan merupakan nilai-nilai dambaan segenap umat manusia, sedemikianrupa sehingga itu semua tidak dapat dinikmati sewajarnya untuk jangka waktu yang lama, bila diperoleh atau dipertahankan sampai merugikan bangsa-bangsa dan Negara-Negara lain, seraya melanggar hak-hak mereka, atau menutup sumber-sumber kesejahteraa bagi mereka.

CA. 28. Dalam arti tertentu pada berbagai bangsa Eropa masa “pasca-perang” yang sesungguhnya baru saja mulai. Sebab penataan ulang sistim-sistim perekonomian, yang sampai akhir-akhir ini bersifat “kolektif”, membawa serta berbagai masalah dan pengorbanan, yang dapat dibandingkan juga dengna pengorbanan-pengorbanan dan kerugian-kerugian yang membebani Negera-Negara Eropa Barat, ketika harus membangun diri lagi sesudah Perang Dunia II. Maka sudah sewajarnyalah, bahwa dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan sekarang ini Negara-Negara yang dulu berpemerintahan Komunis, memperoleh bantuan serentak dari Negara-Negara lain. Memang sudah jelas, bahwa merekka senidirlah yang pertama-tama harus mengusahakan pembangunan mereka sendiri. Akan tetapi Negara-Negara itu selayaknya juga mendapat peluang yang wajar untuk mewujudkan pembangunan itu, dan itu mustahiltanpa bantuan Negara-Negara lain. Lagi pula, situasi mereka sekarang, yang penuh dengan kesulitan dan kekurangan, merupakan akibat suatu proses historis, yang melibatkan Negara-Negara yang dulu berhaluan Komunis seringklai sebagia bulan-bulanan melulu, bukan sebagai pemeran-serta. Maka Negara-Negara itu berada dalam situasi sekarang ini bukan atas pilihan sendiri, atau akibat kesalahan-kesalahan mereka sendiri, melainkan sebagai konsekuensi peristiwa-peristiwa tragis, yang secara paksa ditimpakan atas mereka. Demikianlah mereka terhalang, untuk tetap masih menempuh jalan pembangunan sosial-ekonomi.
            Bantuan Negara-Negara lain terutama di Eropa,-sebab Negara-Negara itu ikut berperanan dalam peristiwa-peristiwa tadi, maka juga ikut bertanggung jawab atasnya, -memang memenuhi kewajiban keadilan yang jelas. Akan tetapi bantuan itu juga perlu diberikan demi kepentingan dan kesejahteraan seluruh Eropa, yang sama sekali tidak akan dapat mengalami kehidupan damai, sekiranya pelbagai konflik, yang bagaikan kelanjutan bersumber pada masa lamapu, justru semakin meruncing akibat situasi kekacauan ekonomi, keresahan dalam negeri dan rasa putus asa.
            Akan tetapi keharusan membantu itu jangan sampai mengakibatkan lambannya perencanaan dan usaha-usaha untuk menolong dan melindungi Negara-Negara Dunia Ketiga. Sebab Negara-Negara itu pun masih banyak yang menanggung situasi kemiskinan dankemelaratan, yang bahkanmasih jauh lebih parah lagi[59]. Yang akan dibutuhkan adalah suatuusaha istimewa untuk mengerahkansemua sumber daya dan tenaga, yang diperlukan oleh seluruh dunia untuk mewujudkan pengembangan ekonomi danpembangunan semesta, denganlebihdulu menentukan prioritas-prioritas dan tata-urutan nilai-nilai, sebagai dasar untuk menyusun perencanaa di bidang perekonomian dan politik. Akan dapat disediakan sumber-sumber daya yang luar biasa besarnya, dengan membatalkan perlengkapan-perlengkapanmiliter yang dulu disiapkan untuk menhadapi konflik antara Timur dan Barat. Sumber-sumber daya itu seperti lazimnya-dapat disusun bersama prosedur-prosedur yang sungguh andal, untuk menyelesaikan konflik-konflik, dan dengna demikian prinsip pengendalian dan pengurangan persenjataan akan berlaku juga di Negara-Negara Dunia Ketiga, melaui upaya-upaya yang tetap melawan perdagangan senjata[60]. Tetapi yang pertama-tama akan diperlukan ialah menaagalkan seluruh mentalitas, yang menganggap kaum miskin –orang-orang maupn bangsa-bangsa-sebagai suatu beban dan gangguan yang menjengkelkan, yang hanya menghabiskan hasil jerih-payah orang-orang lain saja. Sebab kaum miskin menginginkan hak untuk ikut mendaya-gunakan buah-hasil konkrit itu, dan menggunakan kemampuan kerja mereka untuk memperbuahkan hasil yang berfaedah, dan dengan demikian menciptakan dunia yang serba lebih adil dan lebih sejahtera bagi semua penghuninya. Peningkatan mutu hidup kaum miskin membuka peluang sungguh besar bagi kemajuan moril dan bu-daya dan bahkan di bidang perekonomian juga untuk semua orang.

CA.29. Akhirnya janganlah pembangunan dibatasi maknanya pada bidang perekonomian melulu, melainkanhendaknya dimengerti sebagai pengembangan manusia seutuhnya[61]. Di sini yang penting bukan saja supaya semua bangsa diangkat ke taraf kesejahteraan, yang sekarang ini dinikmati oleh Negara-Negara yang lebihkaya, melainkan teruatam asupaya melalui jerih-payah yang terpadu tercapailah perihidup yang lebihlayak; lagi pula supaya martabat dan kreativitas setiap orang makin meningkat secara konkrit, dan supaya berkembangah kemampuannya untuk menanggapi panggilannya sendiri; demikianlah ia menjawab panggilan Allah sendiri, yang ada di balik panggilannya itu. Pada puncak pembangunanlah terletak pengamalan hak maupun kewajiban untuk mencari Allah dan mengenal-Nya, serta untuk hidupmenurut kesadaran itu[62]. Adapun dalam pemerintahan-pemerintahan totaliter dan diktatorial prinsip, bahwa kekerasan diutamakan terhadap penalaran budi, dilaksanakan hingga konsekuernsi-konsekuensinya yang ekstrim. Artinya: manusia dipaksa menanggung dampak pandangan tertentu tentang kenyataan, yang dibeban kandengan kekerasan atas dirinya, dan tidak dicapainya melalui daya-nalarnya sendiri atau dalam kebebasan. Maka prinsip itu harus ditumbangkan.  Harus diakui sepenuhnya hak-hak suarahati manusia, yang hanya terikat pada kebenaran saja, yang bersifat kodrati maupun yang diwahyukan. Sebab dalam pengakuan hak-hak itulah terletak dasar utama segala tata-politik yang sungguh-sungguh merdeka[63]. Oleh karena itu amat pentinglah menegaskan lagi prinsip itu berdasarkan berbagai alasan:
a)      Sebab bentuk-bentuk lama pemerintahan totaliter dan diktatorial belum semuannya dan seluruhnya teratasi, bahkan masih ada bahaya, jangan-jangan masih kembali kekuatannya. Kenyataan itu menuntut pembaharuan usaha untuk kerja sama dan solidaritas antara semua Negara.
b)      Sebab dalam Negara-Negara yang sudah maju acap kali dipropagandakan dan diiklankan secara berlebihan barang-barang konsumsi melulu, seraya dibangkitkan selera dan kecondongan ke arah kenikmatan sesaat. Maka menjadi cukup sulit untuk mengenali dan mematuhi tata-urutan nilai-nilai sejati bagi hidup manusiawi.
c)      Sebab di berbagai Negara muncul bentuk bentuk baru fundamentalisme keagamaan, yang diam-diam atau bahkandengan terus terang melarang para penganut agama yanglain dari pada agama mayoritas penduduk, untuk menggunakan sepenuhnya hak-hak mereka selaku warga-negara atau pemeluk agama, dan tidak mengizinkan mereka untuk berperanserta dalam proses pengembangan budaya, serta membatasi hak Gereja untuk mewartakan Injil, maupun hak mereka yang mendengarkan pewartaan itu,untuk menerimanya  dan bertobat kepada Kristus. Tidak ada kemajuan sejati yang mungkin tanpa ditegakkannya hak kodrati dan asasi untuk mengenal kebenaran dan menghayatinya. Penggunaan dan pengembangan hak kodrati itu mencakup hak untuk mengenal dan secara bebas menerima Yesus Kristus, yang merupakan harta-kekayaan manusia yang sejati[64].

BAB IV
MILIK PERORANGAN
HARTA-BENDA BUMI UNTUK SEMUA ORANG

CA.30. Melawan Sosialisme pada zamannya Paus Leo XIII dalam Ensiklik ”Rerum Novarum” dengn tegas dan berdasarkan berbagai argumen menekankan, bahwa hak atas milik perorangan bersumber pada kodrat manusia sendiri[65]. Hak yang mutlak perlu bagi otonomi dan pengembangan pribadi itu sampai sekarang pun selalu dibela oleh Gerja. Begietu pula Gereja mengajarkan, bahwa pemilikan harta-benda duniawi bukanlah hak yang mutlak, melainkan hakekatnya sebagai hak manusiawi bukanlah hak yang mutlak, melainkan hakekatnya sebagai hak manusiawi sekaligus mencantum batas-batasnya.
            Sementara Sri Paus menegaskan hak atas milik perorangan, dengan sama gamblangnya beliau nyatakan, bahwa ”penggunaan” harta duniawi secara bebas itu wajib mematuhi hukum, bahwa harta-benda yang tercipta itu sejak awal-mula diperuntukkan bagi semua orang, punjuga menaati kehendak Yesus Kristus seperti tercantum dalam Injil. Tulis Paus Leo:”Mereka yang bernasib mujur diperingatkan...: orang-orang kaya harus gemetar mendengar ancaman...Yesus Kristus..bahwa suatu ketika pertanggung-jawaban yang cermat sekali harus disampaikan kepada Allah Sang Hakim mengenai penggunaan harta mereka”. Dan seraya mengutip Santo Tomas Akuino beliau menambahkan: ”Tetapi bila ditanyakan, bagaimana seharusnya harta-benda itu digunakan, Gereja tanpa ragu-ragu sedikit pun menjawab: janganlah manusia memandang harta-benda bumi sebagai miliknya sendiri, melainkan sebagai milik umum...”. Sebab ”hukum dan penilaian Kristus lebih penting dari hukum-hukum dan penilaian-penilaian manusia”[66].
            Para Pengganti Paus Leo XIII mengulang-ulangi kedua pernyataan itu, yakni: milik perorangan memang sungguh perlu, maka dari itu juga halal; tetapi serta-merta milik itu ada batas-batasnya[67]. Konsili Vatikan II pun dengan saksama menyajikan ajaran tradisional itu dengan kata-kata yang ada gunanya diulangi: ”Sambil menggunakan hal-hal itu manusia harus memandang harta-benda jasmani yang dimilikinya seara sah bukan saja sebagai milinya sendiri, melainkan seabgai milik umum juga, dalam arti: supaya itu semua dapat bermanfaat bukan hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang-orang lain”. Dan sejenak kemudian: ”Milik perorangan atau hak untuk menggunakan harta-benda jasmani membuka peluang yang memang sungguh diperlukan oleh setiap orang, untuk mewujudkan otonomi probadi maupun keluarganya, dan harus dipandang bagaikan perluasan kebebasan manusia...Tetapi milik perorangan itu sendiri pada hakekatnya mempunyai dimensi sosial, yang didasarkan pada hukum, bahwa harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang”[68]. Ajaran itu kami tandaskan lagi juga, pertama dalam amanat kepada Sidang III para Uskup Amerika Latin di Puebla, kemudian dalam Ensiklik ”Laborem Exercens” dan ”Sollicitudo Rei Socialis”[69].

CA.31. Sementara membaca ulang ajaran tentang hak atas milik perorangan dan tentang diperuntukkannya harta-benda bumi bagi semua orang itu dalam konteks zaman kita sekarang, dapat dikemukakan soal; dari manakah asal harta-benda yang menopang kehidupan manusia, memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan merupakan sasaran hak-haknya itu.
            Sumber pertama segala sesuatu yang baik ialah karya Allah sendiri yang menciptakan bumi dan manusia, serta pmengurniakan bumi kepada manusia, supaya manusia dengan jerih-payahnya menguasainya dan menikmati buah-hasilnya (bdk. Kej 1:28-29). Allah menganugerahkan bumi kepada seluruh umat manusia, supaya bumi menjadi sumber kehidupan bagi semua anggotanya, tanpa mengecualikan atau mengutamakan siapapun juga. Itulah yang menjadi dasar mengapa harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang. Sebab berkat kesuburannya dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia,; bumi merupakan kurnia Allah yang pertama untuk menjadi sumber kehidupan baginya. Tetapi bumi tidak menghasilkan buah-buahnya tanpa tanggapan manusia yang khusus terhadap anugerah Allah, atau : tanpa kerja. Melalui kerja manusia dengan menggunakan akal-budi dan kebebasannya menguasai bumi, dan menjadikannya kediaman yang layak bagi dirinya. Begitulah manusia menjadikan miliknya sebagian bumi yang diperolehnya denganbekerja. Itulah asal-mula milik perorangan. Sudah jelaslah ia terikat kewajiban untuk tidak menghalang-halangi sesamanya mendapat bagiannya dari kurnia Allah. Bahkan ia harus bekerja sama dengan mereka untuk bersama-sama menguasai seluruh bumi.
            Di sepanjang sejarah dua faktor ini, yaknikerja dan bumi, selalu terdapat pada awal setiap masyarakat manusia. Akan tetapi tidak selalu keduanya itu mempunyai antar hubungan yang sama. Di masa lampau kesuburan alamiah bumi nampaknya dan memang kenyataannya merupakan bagian utama kekayaan, sedangkan kerja merupkan faktor pembantu dan penopang kesuburannya. Pada zaman kita sekarang peranan kerja manusia semakin menonjol, yakni sebagai faktor produktif kekayaan jasmani maupun rohani. Lagi pula jelaslah, bahwa kerja setiap orang menurut hakekatnya berhubungan dengankerja orang-orang lain. Terutama sekarang ini bekerja berarti bekerja sama dengan sesama dan bekerja untuk sesama; dengan kata lain: berbuat sesuatu untuk seseorang. Kerja itu semakin subur dan produktif, semakin manusia menyelami daya-daya produktif bumi, dan semakin ia mendalami kebutuhan-kebutuhan sesama, yang mendapat manfaat dari kerjanya.

CA. 32. Tetapi zaman sekarang ini terdapat jenis pemilikan yang khusus dan tidak kalah  penting dari tanah, yakni: menguasai pengetahuan, teknologi, dan seluruh bidang ilmu. Kekayaan Negara-Negara yang sudah serba maju di bidang industri terutama terletak pada jenis milik itu, jauh lebih dari pada sumber-sumber daya-alam.
            Tadi baru saja dikatakan, bahwa manusia bekerja sama dengan sesamanya menjadi anggota ”lingkup kerja bersama”, yang tahap demi tahap meliputi kawasan yang makin luas, bahkan seluruh dunia. Barangsiapa menghasilkan sesuatu selebihnya dari yang digunakannya sendiri, kebanyakan berbuat begitu supaya orang-orang lain memanfaatkan hasil kerjanya itu juga, sesudah membayar harganya yang wajar, berdasarkan mufakat melalui tawar-menawar secara bebas. Kemampuan untuk tepat pada waktunya mengetahui kebutuhan-kebutuhan orang-orang lain dan peraduan faktor-faktor yang serba menguntungkan danpaling sesuai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu merupakan sumber kekayaan lain bagi masyarakat sekarang. Di samping itu banyaki produk tidak dapat dihasilkan secara efektif melulu berkat budinya perorangan saja, melainkan menuntut kerja sama banyak orang, untuk mencapai sasaran pelaksanaannya, mengusahakan supaya usaha bersama itu sungguh menanggapi kebutuhan-kebutuhan yang perlu dipenuhi, sanggup menanggung risiko-risiko yang dituntut: itu semua pun dalam masyarakat sekarang merupakan sumber kekayaan yang melimpah. Begitulah menjadi semakin jelas dan semakin menentukan sistim-sistim kerja manusia yang terarah dan produktif, dan –sebagai faktor utama kerja itu,-kemampuan menyusun rencana-rencana dan berwiraswasta[70].
            Proses itu, yang mengungkapkan kebenaran tentang pribadi manusia, yang tiada hentinya telah dikemukakan oleh iman kristiani, perlu ditelaah dengan cermat dan saksama. Sesungguhnya, di samping bumi seumber daya utama bagi manusia ialah manusia sendiri. Berkat kecerdasannya ia mampu menggali potensi-potensi produktif bumi dan bermacam-macam cara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusiawi. Kerjanya yang diatur dengan baik dalam kerjasam aerat dengan sesama memungkinkan pembentukan serikat-serikat kerja yang lebih luas dan layak diandalkan untuk mengubah alam lingkungan dan lingkungan manusiawi. Dalam proses itu diperlukan keutamaan-keutamaan yang cukup penting, misalnya: kecermatan, ketekunan, kebijaksanaan dalam menanggung risiko-risiko yang wajar, sifat andal, dan kesetiaan dalam hubungan-hubungan antar pribadi, keberanian dalam melaksanakan keputusan-keputusan yang sukar dan meminta pengorbanan, tetapi memang perlu untuk penyelenggaraan bisnis secara menyeluruh maupun untuk menghadapi kemungkinan kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan.
            Ekonomi bisnis zaman sekarang mempunyai segi-segi yang menguntungkan, yang berdasrkan kebebasan pribadi, yang terwujud di bidang perekonomian seperti juga di sekian banyak bidang lainnya. Sebab kegiatan ekonomi merupakan sebagian dalam kegitan manusiawi yang bermacam-ragam, dan di situ-seperti di bidang lain yang mana pun-berlakulah hak atas kebebasan, begitu pula kewajiban menggunakan kebebasan itu seturut suarahati. Tetapi penting juga diperhatikan perbedaan-perbedaan yang cukupnyata antara arus-arus masyarakat sekarang dan arus-arus di masa silam, juga yang belum begitu lama berselang. Di masa lampau faktor utama pendapatan ialah tanah dankemudian modal, dalam arti keseluruhan upaya-upaya dan sarana-sarana produksi. Sedangkan sekarang ini manusia sendiri semakin berperan sebagai faktor yang utama; yakni: kemampuannya untuk memahami, yang khususnya tampil melalui pengetahuan ilmiahnya; kemampuannya untuk berorganisasi secara terpadu; begitu pula kemampuannya untuk menangkap kebutuhan sesama dan memenuhinya.

CA.33. Akan tetapi seharusnyalah risiko-risiko dan masalah-persoalan yang berkaitan dengan proses itu sungguh dipertimbangkan. Kenyataanya ialah,bahwa banyak orang-barangkali itu mayoritas-tidak mempunyai upaya-upaya, yang memungkinkan mereka untuk secara mantap dan layak manusiawi berperanserta dalam sistim kewiraswastaan dan perusahaan, yang titikberatnya terletak pada kerja sendiri. Mereka itu tidak mampu memperoleh bekal pengetahuan elementer, yang memungkinkan mereka memberi bentuk yang nyata kepad adaya-cipta mereka, dan mengembangkanpotensi mereka. Mereka tidak mendapt kesempatan juga unutk saling mengenal dan berkomuikasi sehingga bakat-kemampuan mereka dihargai dan didaya-gunakan. Demikianlah mereka, -kalau tidak sama sekali dijadikan sumber keuntungan melulu-dalam banyak hal toh tersisihkan. Dan pengembangan ekonomi seolah-olah berlangusng di atas kepala mereka. Itu kalau pengembangan tadi tidak masih menciutkan lagi lingkup perekonomian mereka yang semula dan nyatari smencukupi untuk menghidupi mereka itu, yang toh sudah serba sempit. Mereka tidak mampu bersaing , menandingi barang-barang dagangan, yang diproduksi dengan cara-cara yang baru, dan yang tepatguna menanggapi kebutuhan-kebutuhan. Mereka sendiri sebelumnya sudah biasa memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu dengan pola tradisional usaha terpadu. Terbujuk oleh semarak kemewahan yang dipergelarkan, tetapi yatn tidak terjangkau oleh mereka, dan sekaligus terdesak oleh kemelaratan, massa rakyat itu memadati kota-kota Dunia Ketiga. Di situmereka seringkali tercabut dari akar-akar kebudayaan mereka, dan berada dalam situasi pergolakan-pergolakan penuh kekejaman, tanpa kemugkinan utuk berintergrasi dengan golongan penduduk lainnya. Martabat mereka tidak diakui, dan ada kalanya dijalankan usaha-usaha untuk menghapus mereka dari sejarah, melalui bentuk-bentuk pengurangan secara paksa, yang bertentangan dengan martabat manusia.
            Banyak orang lain, meskipun tidak sama sekali tersisihkan, hidup dalam situasi dan di temapt-tempat, yang pertama-tama ditandai oleh perjuangan demi kebutuhan-kebutuhan  yang paling pokok. Di situ masih berlaku kaidah-kaidah Kapitalisme pada masa awalnya dalam bentuk sedemikian ”kejam”nya, sehingga sama sekali tidak kalah mengerikan dengan kekejaman masa-masa paling runyam tahap pertama proses industrialisasi. Dalam kasus-kasus lain tanah masih merupakan faktor terpenting dalam proses perekonomian, tetapi tmereka yang mengerjakannya tidak dapat memilikinya, dan posisi mereka praktis merosot ke kondisi perbudakan[71]. Dalam kasus-kasus itu sekarang pun-seperti pada zaman Ensiklik ”Rerum Novarum”,-masih dapat digunakanistilah ”eksploatasi tanpa perikemanusiaan”. Meskipun perubahan-perubahan besar telah terjadi dalam masyarakat-masyarakat yang lebih maju, cacat-cela manusiawi dalam Kapitalisme beserta dominasi harta-benda atas manusia sebagai konsekuensinya sama sekali belum lenyap. Bahkan pada kaum miskin, kemelaratan akan harta materiil masih diperberat lagi oleh tiadanya pengetahuan danpendidikan, sehingga mereka terhalang untuk membebaskan diri dari perbudakan yang sangat memalukan.
            Malangnya ialah”bahwa mayorita spenduduk Dunia Ketiga masih hidup dalam kondisi-kondisi seperti itu. Tetapi kelirulah, bila istilah ”Dunia Ketiga” hanya boleh diebrikan arti geografis saja. Di berbagai wilayah dan di berbagai sekotr sosial”Dunai” itu telah disusun program-program pembangunan yang terutama berpusatkan penghargaan terhadap ”sumber-sumber daya manusia”, bukan pertama-tama terhadap sumber daya materiil.
            Tidak terlalu jauh di masa lampua ada pendapat , bahwa Negara-Negara yang lebihmiskin akan berkembang dengna memisahkan diri dari pasar dunia semesta, dan dengan mengandalkan sumber-sumber dayanya sendiri. Akan tetapi pengalaman tahun-tahun terakhir ini justru menunjukkan , bahwa Negara-Negara yang menyendiri itu semakin lemah dan mengalami kemunduran. Sedangkan Negara-Negara yang dapat berperanserta dalam percaturan umum perdagangan internasional berkembang dengan baik. Maka agaknya masalah utama ialah menemukan cara yang wajar untuk memasuki pasar internasional, bukan berdasarkan pada prinsip unilateral eksploatasi sumber-sumber daya alam Negara –Negara itu, melainkanpada penghargaan terhadap sumber-sumber daya manusiawai[72].
            Tetapi aspek-aspek yang khas bagi Dunia Ketiga tampil juga di Negara-Negara maju, yang ditandai oleh perubahan terus menerus pada pola-pola produksi dan konsumsi, sehingga memerosotkan nilai ketrampilan-ketrampilan tertentu yang telah tersedia serta kemahiran profesional, dan dengan demikian menuntut usaha tiada hentinya untuk menatar kemahiran itu dan menyesuaikannya dengan kondisi-kondisi baru. Mereka yang tidak mampu mengikuti laju perkembangan zaman dengan mudah akan tersisihkan, dan bersama mereka angkatan usia lanjut, kaum muda yang tidak mampu berintegrasi dengan baik dalam hidup kemasyarakatan, dan pada umumnya mereka yang tak berdaya atau disebut juga ”Dunia Keempat”. Dalam situasi itu kondisi kaum wanita pun sama seklai tidak mudah.

CA.34. Agaknya baik pada tingkat nasional maupun dalam rangka hubungan internasional pasar bebas merupakan upaya yang paling efektif untuk mendaya-gunakan sumber-sumber daya dan untuk dengan tepat-guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Tetapi itu hanya berlaku bagi kebutuhan-kebutuhan yang ”dapat dikenai harga” atau mempunyai nilai beli, dan bagi sumber-sumber daya yang ”dapat dipasarkan”, dan dapat memperoleh harga yang sewajarnya. Tetapi ada berbagai kebutuhan manusia, yang tidak mendapat tempat di pasar. Merupakan kewajiban cinta kasih dan keadilan yang berat untuk mencegah, jangan sampai ada kebutuhan-kebutuhan dasar manusia yang tetap tidak terpenuhi, jangan sampai orang-orang yang teretekan olehnya binasa. Lagi pula amat perlulah, bahwa mereka yang serba miskinitu dibantu untuk memperoleh kemahiran, untuk memasuki gelanggang pertukaran timbal-balik, untuk mengembangkan bakat-kemampuan mereka, sehingga mereka dapat meningkatkan tepat-gunanya sumber-sumber daya serta peluang-peluang yang tersedia bagi mereka. Bahkan lebih penting dari sistim pertukaran barang-barang yang serasi, dan lebih penting dari bentuk-bentuk keadilan yang khas baginya, berlakulah sesuatu yang menjadi hak manusia berdasarkan hakekatnya sebagia manusia, karena keluhuran martabatnya. Sesuatu yang menjadi haknya itu menuntut peluang baginya untuk tetap dapat hidup dan dapat memberi sumbangan yang nyata demi kesejahteraan umum segenap umat manusia.
            Dalam situasi Dunia Ketiga tetap berlaku sepenuhnya, dan dalam berbagai kasus masih perlu diwujudkan secar anyata, sesaran-sasaran yang diutarakan oleh Ensiklik ”Rerum Novarum” untuk mencegah, jangan sampai kerja manusia merosot dan manusia sendiri diperdagangkan belaka; yakni;: gaji harus cukup untuk menanggung kehidupan keluarga; perlu ada jaminan sosial untuk menjamin hari tua dan menanggulangi pengangguran; harus ada jaminan yang memadai bagi persyaratan kerja.

CA.35. Terbukalah gelanggang kegiatan dan perjuangan demi keadilan, yang luas dan menjnjikan banyak hasil,bagi serikat-serikat buruh dan organisasi-organisasi kaum pekerja lainnya, yang membela hak-hak mereka dan melindungi kepentingan-kepentingan mereka sebagai pribadi. Seklaigus organisasi-organisasi itu memainkan peranan penting sekali di bidang kebudayaan, yakni memungkinkan kaumpekerja untuk berperanserta secara lebih penuh dan lebih terhormat dalam kehidupan bangsa, dan mendukung perjalanannya demi pembangunan.
            Dalam arti itu tepatlah orang berbicara tentang perjuangan melawan sistim perekonomian, kalau ini diartikansebagai upaya untuk mengamankan dominasi mutlak modal, pemilikan sarana-sarana produksi dan tanah, melawan sifat bebas dan pribadi kerja manusia[73]. Untuk ”mendampingi” perjuangan melawan sistim perekonomian semacam itu, yang di sini disajikan seabgai alternatif bukanlah sistim Sosialisme, yang kenyataannya berupa Kapitalisme Negara, melainkan masyarakat kerja yang bebas, kewiraswastaan dan partisipasi. Masyarakat itu tidak bertentangan denganpasar, tetapi memerlukan kepemimpinan para penguasa Negara yang sewajarnya, supaya kebutuhan-kebutuhan seluruh masyarakat terpenuhi.
            Gereja mengakui peranan keuntungan yang wajar, sebagai indikator bahwa bisnis berfungsi dengan baik. Sebab bila bisnis mendatangkan keuntungan, jelaslah bahwa faktor-faktor produktif didaya-gunakan dengantepqat, dan bahwa kebutuhan=kebutuhan manusiawi berkaitan dengannya dipenuhi sebagaimana layaknya. Akan tetapi adanya keuntungan bukanlah satu-satunya indikator keadaan bisnis. Mungkin saja perhitungan-perhitungan finansial serba beeres, tetapi tidak mustahil pula orang-orang-yang merupakan modal paling berharga bagi bisnis secara tidak layak menderita kerugian. Bukan saja itu ditinjau dari sudut moral harus ditolak. Tetapi dapat dipastikan sebelumnya, bahwa itu akan merugikan efisiensi perekonomian bisnis itu juga. Sebab maksud suatu badan bersama bukan saja untuk mendatangkan keuntungan, tetapi juga supaya badan usaha itu sendiri kenyataannya merupakan suatu rukun kekerabatan, yang para warganya dengan pelbagai cara berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok mereka, dan kesemuanya membentuk suatu kelompok khas, yang mengabdi seluruh masyarakat. Keuntungan merupakan faktor pengendali kehidupan suatu bisnis, tetapi bukan faktor tunggal. Sebab kecuali itu perlu dipertimbangkan juga faktor-faktor manusiawi dan moril lainnya, yang dalam jangka panjang setidak-tidaknya sama pentingnya bagi kehidupan seluruh bisnis itu.
            Seperti telah diuraikan, harus disanggah pernyataan, seolah-olah sesudah runtuhnya apa yang disebut ”Sosialisme Reil”, Kapitalisme-lah yangharus dianggap sebagai satu-satunya pola organisasi ekonomi. Perlu dipatahkan rintangan-rintangan dan monopoli-monopoli, yang tidak memungkinkan sekian banyak bangsa mengembangkan diri. Perlu pula diciptakan bagi perorangan dan Negara-Negara kondisi-kondisi yang utama untuk berperan-serta dalam pembangunan. Sasaran itu menuntut dari segenap masyarakat internasional usaha-usaha yang terencanakan dan penuh tanggung jawab. Negara-Negara yang lebih kuat  harus membuka peluang bagi Negara-Negara yang lebih lemah untuk berintegrasi dalam kehidupan internasional. Dan Negara-Negara yang lebih lemah hendaknya memanfaatkan kesempatan itu, dengan menjalankan usaha-usaha maupun pengorbanan-pengorbanan yang dibutuhkan, dengan menjamin stabilitas politik dan ekonomi, serta prospek masa depan yang pasti, dengan meningkatkan kemahiran kaum pekerjanya sendiri, pun mengusahakan pembinaan kaum wiraswasta yang tangguh dan menyadari tanggung jawab mereka[74].
            Sekarang ini usaha-usaha positif untuk mencapai sasaran-sasaran itu terbentur pada masalah berat, yang sebagian besar belum terpecahkan, yakni hutang luar negeri Negara-Negara yang miskin. Memang tepatlah prinsip, bahwa pinjaman harus dilunasi. Akan tetapi tidak boleh diharapkan atau dituntut pembayaran hutang, bila itu menjuruskan ke arah pilihan-pilihan politik, yang mengakibatkan massa besar rakyat menderita kelaparan dan jatuh ke dalam rasa putus asa. Janganlah ada tuntutan, supaya pinjaman yang diadakan dilunasi dengan pengorbanan-pengorbanan yang tidak tertanggung lagi. Dalam kasus-kasus itu perlulah-seperti di sana-sini memang sudah terjadi-ditemukan cara-cara untuk meringankan beban hutang, menangguhkan pembayarannya atau bahkan membatalkannya, seturut hak asasi bangsa-bangsa atas kelestarian dan kemajuannya.

CA. 36. Sudah selayaknya sekarang perhatian diarahkan kepada masalah-masalah dan ancaman-ancaman khusus, yang muncul di kalangan-kalangan ekonomi yang lebih maju, dan yang berkaitan dengan ciri-ciri perekonomiannya. Pada tahap-tahap perkembangannya yang lebih dini manusia selalu hidup tertekan oleh kebutuhan yang mendesak. Kebutuhan-kebutuhannya tidak seberapa, dan dalam arti tertentu ditentukan oleh kondisi nyata fisiknya. Dan kegiatan ekonomi terarahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Akan tetapi sekarang ini ternyata, bahwa soalnya bukan hanya menyediakan kuantitas harta-benda yang mencukupi, melainkan perlu dilayani pula tuntutan kualitas: mutu hasil-hasil produksi dan barang-barang untuk konsumsi; mutu jasa-pelayanan yang dimanfaatkan oleh umum, mutu lingkungan dan kehidupan pada umumnya.
            Tuntutan akan perihidup yang lebih memuaskan dan lebih bermutu itu sendiri memang wajar. Akan tetapi mau tak mau harus dikemukakan juga pokok-pokok tanggung jawab dan risiko-risiko yang menyertai tahap sejarah sekarang ini. Di balik cara-cara munculnya dan ditentukannya kebutuhan-kebutuhan baru, selalu ada faham yang kurang-lebih senada tentang manusia serta apa yang sungguh baik baginya: dari pilihan-pilihan pelbagai hasil produksi dan barang-barang konsumsi nampaklah kebudayaan tertentu, yang mencerminkan visinya tentang keseluruhan hidup. Dari situ muncullah gejala konsumerisme. Adapun dalam menyingkapkan kebutuhan-kebutuhan baru dan cara-cara baru untuk memenuhinya, setiap orang harus berpedoman pada citra manusia yang seutuhnya, yang mengindahkan semua dimensi hidupnya sebagai manusia, dan membawahkan aspek-aspek jasmani dan alamiah kepada segi-segi batiniah dan rohani. Akan tetapi bila yang langsung dianut ialah selera-seleranya sendiri, sedangkan kenyataan pribadi yang berakal-budi dan bebas tidak dihiraukan, dapat muncul sikap-sikap konsumerisme dan corak-corak hidup, yang secara obyektif tidak pantas atau merugikan kesehatan jiwa-raga. Sistim perekonomian sendiri tidak mempunyai norma-norma untuk dengan cermat membeda-bedakan cara-cara baru dan lebih luhur untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia dari kebutuhan-kebutuhan baru hasil rekaan melulu, yang menghambat pembinaan pribadi yang dewasa. Maka perlu danmemang mendesaklah usaha-usaha besar-besaran di bidang pendidikan dankebudayaan, yang mencakup pendidikan para konsumen, untuk secara bertanggung jawab menggunakan kemampuan mereka untuk memilih, pembinaan kesadaran bertanggung jawab yang mendalam pada kaum produsen, dan terutama pada mereka yang berkecimpung dalam penggunaan media komunikasi sosial, begitu pula campurtangan seperlunya dari pihak para pejabat Pemerintah.
            Suatu contoh yang cukup mengesan tentang konsumsi yang dibuat-buat, berlawanan dengankesehatan dan martabat manusia,dan jelas tidak mudah diawasi, ialah penggunaan narkotika. Penyebarluasannya menandakan suatu cela yang gawat dalam tata kemasyarakatan. Sekaligus juga dilandasi ”penafsiaran” yang materialistis dan dalam arti tertentu juga destruktif terhadap kebutuhan-kebutuhanmanusia. Dengan demikian kemampuan ekonomi bebas untuk menciptkana hal-hal baru diarahkan kepada suatu sasaran yang berat sebelah dan tidak memadai. Maka narkotika,begitu pula pornografi dan bentuk-bentuk konsumerisme lainnya, yang menyalahgunakan kerapuhan orang-orang yang lemah, dimaksudkan untuk mengisi kekosongan rohani, yang telah timbul sementara itu.
            Memang tidak kelirulah menginginkan hidup yang lebih baik. Tetapi tidak dapat dibenarkan cara hidup, yang dianggap lebih baik, bila sasarannya sekedar supaya orang serba ”memiliki” saja, bukan menyangkut jati pribadinya sendiri, dan bila ia ingin menambah-nambah saja miliknya, bukan supaya pribadinya semakin baik melainkan supaya hidupnya berlangsung dalam kenikmatan yang mubazir  saja[75]. Maka dari itu perlulah diciptakan pola-pola kehidupan yang ditandai oleh hasrat-keinginan akan kebenara, keindahan, kebaikan, dan persekutuan hidup dengan sesama demi kemajuan bersama, yang menentukan pilihan-pilihan mengenai harta-benda konsumsi, penabungan-penabungan dan investasi-investasi modal. Dalam hal itu kami tidak dapat hanya mengingatkan anda akan kewajiban mencintai sesama, artinya kewajiban membantu dengna memberi ”dari kelimpahannya” sendiri, dan kadang-kadang juga ” dari apa yang masih dibutuhkan”, untuk mencukupi apa yang diperlukan bagi kehidupan kaum miskin. Kami meminta perhatian juga,bahwa keputusan untuk menginvestasikan modal di tempat tertentu dan tidak di tempat lain, di sektor produktif tertentu dan tidak di sektor lain, selalu merupakan pilihan moril dan kultural. Mengindahkan sangat perlulah kondisi-kondisi tertentu di bidang perekonomian dan stabilitas politik, keputusan tentang investasi, yakni guna membuka kesempatan bagi bangsa tertentu untuk mendaya-gunakan kerjanya dengan cara yang menguntungkan, juga bersumber pada sikap kemurahan hati dan kepercayakan akan Penyelenggaraan ilahi, yang menampilkan perikemanusiaan pihak yang mengambil keputusan itu.

CA.37. Selain masalah konsumerisme, yang memprihatinkan juga dan erat berhubungan dengannya ialah soal lingkungan hidup. Karena manusia lebih ingin memiliki dan menikmati dari pada menemukan dan mengembangkan dirinya, ia secara berlebihan dan tidak teratur menyerap sumber-sumber daya bumi maupun hidupnya sendiri. Di balik pengerusakan alam lingkungan yang bertentangan dengan akal sehat ada kesesatan  di bidang antropologi, yang memang sudah tersebar luas. Manusia, yang menyadari bahwa dengan kegiatannya ia mampu mengubah dan dalam arti tertentu ”menciptakan” dunia, melupakan bahwa kegiatannya itu selalu harus didasarkan pada pengurniaan segalanya oleh Allah menurut maksud-Nya semula. Manusia mengira boleh semaunya sendiri mendaya-gunakan bumi dan menikmati hasilnya, dengan menaklukkannya tanpa syarat dengan kehendaknya sendiri, seolah-olah bumi tidak mengemban tuntutan serta maksud-tujuannya semula yang diterimanya dari Allah, dan yang manusia memang dapat mengembangkan, tidak boleh mengkhianati. Manusia bukannya menjalankan tugasnya bekerja sama dengan Allah di dunia. Ia justru malahan mau menggantikan tempat Allah, dan dengan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan alam, yang tidak diaturnya tetapi justru disiksanya[76].
Dalam hal ini nampaklah pertama-tama kemiskinan atau kepicikan pandangan dan wawasan manusia. Ia terutama berusaha memiliki harta-benda,bukan memandangnya sesuai dengan kebenaran. Ia kehilangan sikap peka akan keindahan tanpa mementingkan diri, yang berakar dalam rasa kagum akan segala sesuatu yang serba indah, dan yang menggelarkan dalam hal-hal yang kelihatan amanat Allah yang tidak kelihatan, yang menciptakan itu semua. Sehubungan dengan ini umat manusia harus menyadari tugas-kewajiban terhadap generasi-generasi di masa mendatang.

CA.38. Kecuali pengrusakan alam lingkungan yang bertentangan dengan akal sehat, di sini perlu disebutkan juga pengrusakan yang masih lebih parah lagi, yakni yang menyangkut lingkungan manusiawi, sesuatu yang sama sekali tidak mendapat perhatian sebagaimana seharusnya. Memang banyak orang dengan tepat-sungguhpun jauh belum seperti  harusnya-memprihatinkan kelestarian habita alamiah pelbagai jenis margasatwa, yang terancam oleh kepunahan; sebab mereka menyadari, bahwa masing-masing jenis berperanserta secara khas dalam keseimbangan alam pada umumnya. Tetapi sungguh kuranglah usaha-usaha untuk mengamankan kondisi-kondisi moril ”lingkungan manusiawi”. Bukan saja Allah megurniakan bumi kepada manusia, yang harus mengolahnya dengan mematuhi tujuan semula, mengapa bumi itu dianugerahkan sebagai harta kepadanya. Akan tetapi oleh Allah manusia juga dikurniakan kepada dirinya sendiri. Maka manusia wajib juga menghormati struktur kodrati dan moril yang diterimanya dari Allah. Dalam konteks ini perlu disebutkan masalah-masalah serius urbanisasi modern, dan perlunya perencanaan, supaya dalam proses urbanisasi itu sungguh diperhatikan kehidupan para warga kota, lagi pula: betapa ”ekologi sosial kerja” perlu diindahkan.
            Dari Allah manusia menerima martabatnya yang hakiki, sekaligus juga kemampuan untuk mengungguli setiap tata-sosial, untuk menuju ke arah kebenaran dan kebaikan. Tetapi ia juga terikat pada kondisi-kondisi struktur sosial tempat kediamannya, pada pendidikan yang telah diterimanya, dan pada lingkungan hidupnya. Faktor-faktor itu dapat mempermudah atau mempersukarnya untuk hidup menurut kebenaran. Adapun keputusan-keputusan yang menentukan bagi lingkungan manusiawi, dapat menciptakan struktur-struktur khas dosa, yang menghalang-halangi mereka, yang dengan berbagai cara tertindas olehnya, untuk mencapai kepenuhan kesempurnaannya sebagai manusia. Pembongkaran struktur-struktur semacam itu, dan penggantiannya dengan bentuk-bentuk rukun hidup yang lebih ontentik, merupakan suatu tugas yang menuntut keberanian dan kesabaran[77].

CA.39. Struktur yang pertama dan mendasar bagi ”lingkungan manusiawi” ialah keluarga. Di situlah manusia dibekali dengan pengertian-pengertian pertama dan utama tentang kebenaran dan kebaikan. Di situ pula ia belajar apa arti mencintai dan dicinta, dan dengan demikian, apa sebenarnya artinya: menjadi pribadi. Yang dimaksudkan di sini ialah keluarga berdasarkan pernikahan. Di situ serah-diri timbal-balik antara suami danisteri menciptakan lingkungan hidup, tempat anak dapat lahir dan mengembangkan bakat-bakat pembawaannya, makin menyadari martabatnya, dan menyiapkan diri untuk menghadapi nasibnya yang tinggal dan tidak terulang lagi. Akan tetapi seringkali orang ditakut-takuti untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh keturunan, dan terbawa untuk beranggapan, seolah-olah ia sendiri beserta hidupnya lebih merupakan serangkaian perasaan-perasaan yang harus dialami, bukan tugas yang harus dilaksanakan. Muncullah di situ sikap kurang bebas, yang mendorongnya untuk menolak kesanggupan mengikat diri seumur hidup dengan pribadi lain dan memperbuahkan keturunan, atau untuk menganggap keturunan sebagai salah satu di antara sekian banyak ”hal” yang dapat diperoleh atau tidak diperoleh menurut nafsunya sendiri, dan yang dapat bersaing dengan kemungkinan-kemungkinan lain. Perlulah keluarga dihargai lagi sebagai kenisah kehidupan. Sebab keluarga memang keramat. Di Situlah kehidupan sebagai kurnia Allah dapat disambut sebagaimana layaknya, dan dilindungi terhadap sekian banyak serangan yang menghadangnya, pun mampu bertumbuh, memenuhi persyaratan perkembangan manusiawi yang sejati. Menghadapi apa yang disebut ”budaya maut”, keluarga merupakan sanggar ”budaya kehidupan”.
            Dalam hal ini kecerdasan manusia agaknya lebih cenderung untuk membatasi, membendung atau menghancurkan sumber-sumber kehidupan, juga melalui pengguguran, yang sudah begitu banyak dipraktekkan di mana-mana, daripada untuk melindungi dan membuka kemungkinan-kemungkinan hidup. Dalam Ensiklik ” Sollicitudo Rei Socialis” telah dikecam propaganda yang sistematis melawan pertambahan kelahiran berdasarkan pandangan yang salah tentang masalahkependudukan. Sebab di situ ”terjadi pelanggaran berat sekali terhadap kebebasan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menentukan pilihan mereka sendiri.... Tak jarang mereka didesak dengan tekanan-tekenana yang teramat beratnya, supaya mereka menyerah kalah kepada bentuk baru penindasan itu”[78]. Diterapkan pula kebijakan-kebijakan, yang melalui teknik-teknik baru makin meluas lingkupnya, sehingga –ibarat dalam ”perang kimia”-menghancurkan kehidupan jutaan manusia yang tanpa perlindungan.
            Kecaman-kecaman itu tidak pertama-tama melawan sistim perekonomian, melainkan terutama menentang sistim etika-budaya. Sebab ekonomi hnaya merupakan salah satu segi dan dimensi kegiatan manusia yang bermacam-ragam. Kalau ekonomi dimutlakkan, kalau produksi dan konsumsi menduduki tempat utama dalam kehidupan sosial, dan menjadi satu-satunya nilai masyarakat yang tak terbawahkan kepada nilai mana pun lainnya, alasannya bukan hanya dan bukan terutama terletak pada sistim perekonimian sendiri, melainkan pertama-tama karena sistim sosial-budaya tidak mau mengindahkan dimensi etis dan keagamaan, oleh sebab itu merosot, dan hanya mementingkan produksi barang-barang dan penyelenggaraan jasa-jasa saja[79].
            Itu semua dapat dirangkum dengan mengulangi, bahwa kebebasan perekonomian hanya merupakan sebagian dalam kebebasan manusiawi. Bila kebebasan perekonomian menjadi otonom, dengan kata lain: kalau manusia dianggap terutama sebagai produsen atau konsumen, dan bukan sebagai pribadi yang berproduksi dan berkonsumsi supaya hidup, lalu kebebasan perekonomian tiada hubungannya lagi dengan pribadi manusia, dan akhirnya akan menyebabkan aliensi dan menindasnya[80].

CA.40. Merupakan kewajiban Negara untuk membela dan melindungi harta-milik umum, misalnya: alam lingkungan dan lingkungan manusiawi dan harta-benda manusia. Itu semua tidak dpat dijamin melulu dengan pola-pola dan sistim-sistim pasar. Pada zaman awal Kapitalisme dulu Negara harus membela hak-hak kerja yang mendasar. Begitu pula menghadapi Kapitalisme baru sekarang ini baik Negara maupun segenap masyarakat wajib membela harta-milik kolektif, yang antara lain merupakan lingkup gerak bagi setiap perorangan, untuk secara sah memperjuangkan maksud-tujuannya sendiri.
            Di sini terdapat pembatasan lain bagi pasar. Ada kebutuhan-kebutuhan kolektif dan kualitatif, yang tidak dapat dipenuhi melalui mekanisme-mekanisme pasar. Ada kebutuhan-kebutuhan manusiawi yang penting, yang tidak terjangkau oleh logika dasar. Ada nilai-nilai yang menurut hakekatnya tidak dapat dan tidak boleh dijual-belikan. Tentu saja mekanisme-mekanisme pasar menyajikan banyak keuntungan; antara lain: membantu untuk mengambil manfaat lebih besar dari sumber-sumber daya; meningkatkan pertukaran produk-produk; terutama sangat mementingkan keinginan-keinginan dan pilihan-pilihan pribadi, yang dalam suatu kontrak bertemu dengankeinginan dan pilihan-pilihan pribadi lain. Tetapi mekanisme-mekanisme itu membawa risiko ”pemujaan” pasar, yang tidak mau tahu-menahu tentang nilai-nilai, yang menurut hakekatnya memang bukan barang dagangan dan tidak dapat diperdagangkan semata-mata.

CA.41.Dulu Marxisme mengecam masyarakat-masyarakat borjuis kapitalis; khususnya mencelanya karena memperdagangkan kehidupan manusiawi dan menyebabkan alienasinya. Penyanggahan itu berdarkan pengertian yang salah dan tidak lengkap tentang lienasi, yang melulu dijabarkan dari lingkup hubungan-hubungan antara produksi dan pemilikan, maksudnya dengan mendasarkannya pada materialisme, selain itu juga denganmenyangkalsahnya dan bergunanya hubungan-hubungan pasar bahkan di lingkupnya sendiri. Marxisme akhirnya mengajarkan, bahwa hanya dalam masyarakat kolektiflah alienasi dapat ditiadakan. Akan tetapi pengalaman sejarah Negara-Negara sosialis menunjukkan, bahwa alienasi tidak dihapus oleh Komunisme, justru malahan menjadi lebih parah, karena diperberat lagi dengan tidak tersedianya kebutuhan-kebutuhan pokok dan dengan perekonomian yang tidak efisien.
            Di lain pihak pengalaman sejarah di Barat memperlihatkan, bahwa kendati analisa Marxis terhadap alienasi beserta dasarnya itu memang salah-juga di masyarakat-masyarakat Barat alienasi merupakan kenyataan, disertai dengan hilangnya makna kehidupan yang sesungguhnya. Itu terjadi pada konsumerisme , bila manusia terjerat oleh kenikmatan-kenikmatan yang palsu dan dangkal, serta kurang ditolong untuk secara otentik dan konkrit mengalami dirinya sebagai pribadi manusiawi. Alienasi berlangsung dalam kerja juga, bila kerja diatur sedemikian rupa, sehingga yang diutamakan di atas segalanya ialah hasil-hasil maupun keuntungan-keuntungannya  tanpa dihiraukan apakah pekerja karena kerjanya lebih atau kurang mengembangkan diri sebagai manusia, sejauh komunikasi dalam kelompok pendukungnya semakin intensif dan akrab, atau sebaliknya ia semakin merasa tersendiri di tengah persaingan yang sengit sekali, tiada saling mengenal, sementara ia sebagai manusia melulu diperhitungkan sebagai alat, bukan sebagai tujuan.
            Pengertian alienasiperlu disoroti melalui visi Kristiani. Menurut pandangan itu terjadi alienasi, bila upaya-upaya dan tujuan diputarbalikkan. Bila manusia tidak mengakui keunggulan dan keagungan pribadi dalam diri sendiri maupun sesama, ia juga tidak mampu menemukan makna kemanusiaannya yang sesungguhnya, atau menjalin hubungan dan persekutuan dengan sesama. Padahal Allah menciptakannya untuk kebersamaan itu. Sebab melalui serah dirinya secara bebaslah manusia sungguh menemukan jati-dirinya sebagai harusnya[81]. Serah diri itu mungkin, karena pribadi manusia menurut hakekatnya mampu melampaui dirinya. Manusia tidak dapat mempertaruhkan diri untuk suatu tata realitas yang manusiawi belaka, untuk suatu ide yang abstrak, atau untuk ”utopia” khayalan semata-mata. Sebagai pribadi ia mampu menyerahkan diri kepada pribadi atau pribadi-pribadi lain, dan akhirnya kepada Allah, Pencipta kenyataan dirinya, dan satu-satunya yang mampu menerima persembahan dirinya seutuhnya[82]. Manusia mengalami alienasi, bilaia tidak mau melampaui dirinya atau mengalami peneyerahan dirinya, atau mengalami pembentukan rukun hidup manusiawi yang sejati, terarahkan kepada tujuan terakhirnya, yakni Allah sendiri. Masyarakat mengalami alienasi, bila dalam bentuk-bentuk tata-sosialnya, dalam cara-caranya berproduksi dan berkonsumsi, mempersukar penyerahan diri itu dan penggalangan solidaritas antara manusia.
            Di masyarakat-masyarakat Barat eksploatasi, setidak-tidaknya dalam bentuk-bentuk yang dianalisa dan dilukiskan oleh Karl Marx, sudah diatasi. Akan tetapi alienasi tidak diatasi dalam pelbagai bentuk eksploatasi, bila orang-orang saling menghisap, dan bila-sementara mereka secara makin canggih memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka perorangan dan sekunder-mereka tidak mau tahu-menahu tentang kebutuhan-kebutuhan yang utama dan sesungguhnya, yang juga harus ikut menentukan cara-cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya[83]. Manusia, yang hanya berusaha menikmati dan memiliki saja, dan sudah tidak mampu lagi mengendalikan nafsu-nafsu dan naluri-nalurinya, atau menundukkannya melalui ketaatan kepada kebenaran, tidak dapat bebas. Kepatuhan terhadap kebenaran, juga kebenaran mengenai Allah dan manusia, merupakan syarat pertama kebebasan. Sebab dengan kepatuhan itu manusiamampu mengatur caranya menggunakan hal-hal, dan keinginan-keinginannya beserta cara-cara untuk memenuhinya menurut tata-nilai yang tepat, sehingga pemilikan harta-benda membuka peluang baginya untuk mengembangkan diri. Pengembangan diri itu dapat dihalang-halangi melalui manipulasi yang cerdik terhadap media komunikasi sosial, yang dengan penyajian sistematis-teratur dan terus menerus menciptakan adat-kebiasaan serta arus-arus pemikiran, tanpa memberi kesempatan untuk secara kritis mempertimbangkan dasar-dasarnya.

CA.42. Mengulangi pertanyaan pada awal uraian ini, dapatkah dikatakan bahwa sesudah runtuhnya Komunisme sekarang ini Kapitalismelah sistim sosial yang jaya, dan bahwa Kapitalisme harus menjadi sasaran perjuangan Negara-Negara untuk membangun kembali  perekonomian dan masyarakat mereka? Haruskah sistim itu ditawarkan sebagai pola bagi Negara-Negara Dunia Ketiga, yang sedang mencari jalan pengembangan ekonomi dan pembangunan masyarakat yang sejati?
            Jelaslah jawabannya cukup rumit. Kalau ”Kapitalisme” diartikan sebagai sistim perekonomian, yang mengakui peranan utama dan positif bisnis, pasar, milik perorangan, dan sebagai konseskuensinya tanggung jawab atas sarana-sarana produksi, begitu pula kebebasan daya-cipta manusia di bidang ekonomi, pertanyaan tadi harus dijawab dengan ”Ya!”, meskipun barangkali lebih tepat dipakai istilah ”ekonomi bisnis”, atau ”ekonomi pasar”, atau ”ekonomi bebas” begitu saja. Akan tetap kalau ”Kapitalisme” diartikan sebagai sistim, dengankebebasan di bidang perekonomian yang tidak dicakup dalam konteks politik yang tangguh sebagai suatu pola yang stabil, yangmengabdikan kebebasan itu kepada kebebasan manusiawi secara menyeluruh, yang memandangnya sebagai indikator khusus keseluruhan kebebasan, yang berporoskan etika dan hidup keagamaan, pasti soal tadi harus dijawab ”Tidak” Pemecahan Marxisme mengalami kegagalan. Tetapi kenyataannya di dunia tetap masih ada golongan-golongan masyarakat yang diterlantarkan dan dihisap (terutama di Dunia Ketiga), dan mengalami alienasi (terutama di Negara-Negara yang lebih maju). Gereja bersuara lantang melawan kenyataan-kenyataan itu. Masih begitu besar massa rakyat yang sekarang ini pun hidup dalam keadaan menyedihkan sekali, baik jiwa maupun raganya. Tumbangnya Marxisme di sekian banyak Negara memang menyingkirkan suatu rintangan untuk menanggapi soal-soal itu secara tepat dan realistis; tetapi tidak memecahkannya. Bahkan ada bahaya, jangan-jangan disebarkan suatu ideologi radikal berhaluan Kapitalisme, yang mempertimbangkan masalah-masalah itu pun tidak mau, karena a priori sudah beranggapan, bahwa setiap usaha untuk menanggapinya pasti sia-sia saja, dan yang secara nekad menyerahkan penyelesaiannya kepada kekuatan-kekuatan pasar yang berkembang dengan leluasa.

CA.43. Gereja tidak dapat menyajikan pola-pola tertentu. Pola-pola yang konkrit dan sungguh efektif hanya dapat tercipta dalam konteks pelbagai situasi,    historis berkat usaha mereka, yang secara bertanggung jawab menanggulagi masalah-persoalan konkrit dalam semua seginya yang saling berkaitan[84]. Untuk tugas itu Gereja menyumbangkan ajaran sosialnya sebagai pengarahan ideal yang amat dibutuhkan. Seperti telah disebutkan, ajaran itu mengakui nilai positif pasar dan bisnis; tetapi serta-merta menunjukkan, bahwa keduannya harus ditujukan kepada kesejahteraan umum. Ajaran itu menunjukkan pula wajarnya usaha kaum pekerja untuk memperoleh penghargaan sepenuhnya terhadap martabat mereka, dan untuk mendapat peranserta yang lebih luas dalam kehidupan bisnis, sehingga-walaupun dalam kerjasama dengan pihak-pihak lain dan di bawah pimpinan atasan mereka,-dalam arti tertentu mereka toh dapat ”bekerja untuk kepentingan sendiri”[85], dengan menggunakan kemahiran dan kebebasan mereka.
            Pengembangan pribadi manusia seutuhnya melalui kerja tidak menghambat, melainkan justru meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja sendiri, meskipun dapat juga menggoyahkan struktur-struktur kekuasaan yang sudah membaku. Suatu bisnis tidak dapat hanya dianggap sebagai ”serikat modal” saja, melainkan sekaligus merupakan ”serikat pribadi-pribadi” yang mereka tanggung bersama, dengan berbagai cara dan masing-masing dengan beban tanggung jawabnya sendiri, baik oleh para pemasok modal yang dibutuhan bagi kegiatan bisnis, maupun oleh mereka yang berperan-serta sebagai pekerja. Untuk mencapai sasaran-sasaran itu masih diperlukan juga gerakan organisasi kaum pekerja yang cukup meluas, guna memperjuangkan pembebasan dan pengembangan pribadi manusia seutuhnya.
            Dalam terang ”hal-hal baru” sekarang ini telah dibahas lagi hubungan antara milik perorangan atau swasta dan kenyataan, bahwa harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang. Manusia menyempurnakan diri dengan menggunakan akalbudi dan kehendak bebasnya. Dalam mengembangkan diri itu ia mendaya-gunakan harta-benda bumi sebagai sasaran maupun sarananya, dan menjadikan itu miliknya. Kegiatannya itulah yang mendasari hak atas prakarsa perorangan dan untuk memiliki harta pribadi. Melalui kerjanya manusia memperjuangkan bukan  hanya kepentingan sendiri, melainkan juga kepentingan sesama, dan bersama dengan sesama. Setiap orang membawa sumbangannya bagi kerja maupun kesejahteraan sesama. Manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarganya, golongannya sendiri, bangsanya, dan akhirnya seluruh bangsa manusia[86]. Lagi pula ia berperanserta dalam rangka jerih-payah rekan-rekan sekerjanya dalam bisnis yang sama, dalam rangka usaha para majikannya, pun pula dalam rangka pendayagunaan hasil oleh para pemakai jasa, bagaikan dalam lingkup solidaritas yang lambat-laun makin meluas. Juga pemilikan upaya-upaya produksi dalam industri maupun dalam pertanian adalah wajar dan sah, bila mendukung kerja yang berfaedah. Akan tetapi menjadi tidak halal, bilatidak membawa manfaat apa pun, atau disalah-gunakan untuk merintangi usaha pihak lain, dengan maksud mendapat keuntungan, yang tidak merupakan hasil perluasan kerja atau pengembangan harta-kekayaan masyarakat secara keseluruhan, melainkan hasil pembatasan secara paksa terhadapnya, hasil laba yang tak halal, eksploatasi, atau pemutusan solidaritas di bidang kerja[87]. Pemilikan semacam itu sama sekali tidak dapat dibenarkan, melainkan sebaliknya merupakan penyalah-gunaan di hadapan Allah dan sesama.
            Kewajiban mencari nafkah dengan memeras keringat sendiri juga mengandaikan adanya hak untuk menjalankannya. Bila di suatu masyarakat hak itu secara sistematis ditolak, bila di situ kebijakan-kebijakan perekonomian tidak memungkinkan kaum pekerja untuk mencapai kondisi-kondisi kerja yang memadai, masyarakat itu ditinjau dari sudut etika tidak dapat dibenarkan, dan tidak akan mencapai kedamaian sosial[88]. Seperti pribadi manusia mewujudkan diri sepenuhnya melalui serah-diri yang bersifat bebas, begitu pula pemilikan dari sudut moril dapat dipertanggung jawabkan, bila pada saatnya yang tepat dan dengan cara-cara yang tepat pula menciptakan peluang-peluang untuk kerja dan untuk pengembangan manusiawi bagi semua orang.


BAB V
NEGARA DAN KEBUDAYAAN

CA.44. Paus Leo XIII menyadari amat pentingnya pandangan yang sehat tentang Negara, untuk menjamin perkembangan kegiatan-kegiatan manusiawi yang sewajarnya, baik di bidang  rohani maupun di bidang  jasmani, sebab keduanya memang sungguh perlu[89]. Oleh karena itu  dalam suatu bagian Ensiklik ”Rerum Novarum” Sri Paus membahas organisasi masyarakat beserta tiga aspek kekuasaannya, yakni kuasa legislatif, eksekutif dan yudisial,-sesuatu yang pada zaman itu dianggap pokok yang baru dalam ajaran Gereja[90]. Sistim itu mencerminkan suatu visi yagn realistis tentang kodrat sosial manusia, yang memang memerlukan perundang-undangan yang memadai untuk melindungi kebebasan semua orang. Maka dari itu memang seyogyanyalah setiap kekuasaan diimbangi dengan bidang-bidang tanggung jawab lainnya, untuk membatasi lingkup kekuasaan itu. Itulah prinsip ”Hukum sebagai Norma” (”Rule of Law”), yang menegaskan, bahwa Hukumlah yang berdaulat penuh, bukan kemauan perorangan yang sewenang-wenang.
            Tetapi pada zaman modern ini ajaran itu ditentang oleh totalitarisme, yagn dalam pola Marzisme-Leninisme beranggapan, bahwa ada sejumlah orang, yang karena lebih menyelami hukum-hukum perkembangan masyarakat, atau karena termasuk anggota kelas tertentu, atau karena lebih berat berhubungan dengan sumber-sumber kesadaran kolektif yang lebih mendalam, sama seklai luput dari kesalahan mana pun juga, dan karena itu dapat meng-claim kedaulatan mutlak bagi diri sendiri. Perlu ditambahkan: totalitarisme bersumber pada penolakan terhadap kebebaran yang obyektif. Sebab bila tidak ada kebenaran yang mengatasi segalanya, dan bagi manusia menjadi norma untuk mewujudkan jati-diri-nya sepenuhnya, sama sekali juga tidak ada prinsip yang pasti untuk menjamin adilnya hubungan-hubungan antar manusia. Sebab kepentingan khas suatu kelas, golongan atau Negara mau tak mau akan menimbulkan pertentangan antara pelbagai pihak. Kalau tidak diakui adanya kebenaran yang melampaui segalanya, kekuatan kekuasaanlah yagn unggul, dan setiap orang berusaha mengerahkan segala upaya yang ada padanya untuk memaksakan kepentingan serta pandangannya sendiri dengan mengesampingkan hak-hak sesamanya. Begitulah seseorang hanya akan dibiarkan hidup, sejauh masih dapat diperalat demi kepentingan kaum berkuasa saja. Maka akar totalitarisme modern terletak pada penolakan terhadap keluhuran martabat pribadi manusia, yang sebagai citra kelihatan Allah yang tidak kelihatan, menurut hakekatnya menjadi pengemban hak=-hak, yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun juga, entah itu perorangan atau kelompok tertentu, kelas tertentu, bangsa atau Negara sendiri. Bahkan mayoritas badan sosial mana pun tidak boleh melanggar hak-hak itu dengan menentang minoritas, menyisihkannya, menindasnya, menghisapnya, atau berusaha mengenyahkannya[91].

CA.45. Budaya dan praktek totalitarisme mencakup penolakan terhadap Gereja juga. Sebab Negara atau partai, yang berpretensi mampu mengantar sejarah kepada kesejahteraan mutlak purna, lagi pula menempatkan diri di atas semua prinsip, tidak dapat membiarkan adanya penilaian obyektif tentang kebaikan atau kejahatan di luar kehendak para penguasa Negara; sebab dalam situasi-situasi tertentu sikap-sikap serta kebiasaan-keiasaan mereka pun tentu akan menjadi sasaran penilaian. Itulah yang menjelaskan, mengapa totalitarisme berusaha menumpas Gereja, atau setidak-tidaknya memperbudaknya dengan memperalatnya untuk menopang apara ideologinya sendiri[92].
            Selanjutnya Negara yang bersifat totaliter berusaha menyerap dalam dirinya bangsa, masyarakat, keluarga dan golongan-golongan agama, serta menguasai para warganya sendiri selaku perorangan. Jadi sementara mempertahankan kebebasannya, Gereja melindungi kebebasan pribadi manusia, yang harus lebih menaati Allah dari pada manusia (bdk. Kis 5:29), begitu  pula kebebasan keluarga, organisasi-organisasi sosial dan bangsa-bagnsa, yang kesemuannya mempunyai lingkup otonomi serta kedaulatannya sendiri.

CA.46. Gereja menghargai sistim demokrasi, karena membuka wewenang yang luas bagi warganegara untuk berperanserta dalam penentuan kebijakan-kebijakan politik, lagi pula memberi peluang kepada rakyat bawahan untuk memilih para pemimpin, tetapi juga meminta pertanggung jawaban dari mereka, dan-bila itu memang sudah selayaknya-menggantikanmereka melalui cara-cara damai[93].
            Maka Gereja tidak dapat mendukung pembentukan kelompok-kelompok kepemimpinan yang ”tertutup”, dan menyalah-gunakan kekuasaan Negara demi keuntungan-keuntungan perorangan, atau berdasarkan asas-asas ideologi tertentu.
            Demokrasi yang sejati hanyalah dapat berlangsung dalam Negara Hukum, dan berdasarkan faham yang tepat tentang pribadi manusia. Sebab demokrasi menuntut dipenuhinya syarat-syarat, yang sungguh perlu untuk mengembangkan warga perorangan, melalui pendidikan dan pembinaan dalam menerapkan prinsip-prinsip yang sejati, dan untuk meningkatkan peranserta masyarakat yang semakin sadar melalui struktur-struktur partisipasi dan tanggung jawab bersama. Zaman sekarang ini memang ada anggapan seolah-olah Agnostisisme dan Relativisme skeptis merupakan filsafah dan sikap dasar, yang pada umumnya sejalan dengan demokrasi. Sedangkan siapa saja, yang penuh kesadaran meyakini kebenaran dan dengan teguh berpegang padanya, dari sudut demokrasi tidak dapat dipercaya, karena mereka sama sekali tidak menyetujui, bahwa kebenaran ditentukan oleh mayoritas masyarakat, atau serba berubah-ubah akibat pengaruh aneka arus politik. Akan tetapi di sini perlu diperhatikan,bahwa bila tidak ada kebenaran paling asasi, yang mengarahkan dan mengatur kegiatan politik, di situ ide-ide dan keyakinan-keyakinan dengan mudah dapat dimanipulasi sebagai upaya untuk merebut kekuasaan. Akhirnya, seperti terbukti juga dari sejarah, demokrasi tanpa prinsip-prinsip dengan mudah berubah menjadi totalitarisme terang-terangan atau terselubung.
            Gereja sama sekali tidak menutup mata juga terhadap bahaya fanatisme dan fundamentalisme di kalangan mereka, yang atas nama suatu ideologi, dengan pretensi tampil sebagai ilmiah atau berjiwa keagamaan, menganggap diri berwenang memaksakan kepad apihak-pihak lain pandangan mereka sendiri tentang manakah yang benar dan baik. Jelaslah kebenaran kristiani tidak termasuk aliran semacam itu. Iman kristiani bukan suatu ideologi. Maka iman tidak menuntut juga, supaya kenyataan sosial-politik yang bermacam-ragam dikekang dalam kungkungan rambu-rambu tertentu. Sebab iman megakui,bahwa kehidupan manusia berlangsung di sepanjang sejarah dalam kondisi-kondisi yang serba berlain-lainan dan tidak selalu sempurna. Maka, karena mengakui keunggulan martabat manusia, Gereja dalam cara-caranya bersikap dan bertindak selalu menghormati kebebasan[94].
            Tetapi hanya dengan menerima kebenaranlah kebebasan dihargai sepenuhnya dan dengan sempurna. Tanpa kebenaran di dunia ini kebebasan pasti kehilangan nilainya sama seklai, dan manusia menjadi bulan-bulanan serangan hawa-nafsu dan korban manipulasi terang-terangan maupun terselubung. Adapun orang kristiani menghayati kebebasan (bdk.Yoh 8:31-32) dan mengabdi kepadanya, sementara sesuai dengan sifat misioner panggilannya ia selalu menyajikan kepada sesama kebenaran yang telah dikenalnya. Sambil mengindahkan setiap unsur kebenaran, yang muncul dalam pengalaman hidup setiap orang dan dalam kebudayaan masing-masing bangsa, dalam dialog dengan sesamanya ia tiada hentinya mengungkapkan keyakinannya tentan gapa saja, yang mengenai pribadi manusia diajarkanoleh iman dan diteguhkan oleh penalaran yang cermat[95].

CA.47. Sesudah tumbangnya totalitarisme Marxis dan cukup banyak pemerintah lain yang totaliter, maupun yang berasaskan ”keamanan nasional”, sekarang ini kebanyakan didambakan pola demokrasi, kendati masih ada juga yang menentangnya, disertai dengan kepedulian penuh gairah terhadap hak-hak manusiawi. Tetapi berkenaan dengan itu sanga perlulah, bahwa bangsa-bangsa yang sedang  dalam proses meninjau kembali sistim pemerintahan mereka, meletakkan dasar yang otentik dan kokoh bagi demokrasi dengan secara jelas tandas mengakui hak-hak asasi itu[96]. Di antaranya yang pertama-tama perlu diutarakan ialah hak atas kehidupan. Erat sekali berkaitan dengannya ialah hak anak untuk bertumbuh dalam rahim ibunya sejak saat pertama ia dikandung, begitu pula hak untuk hidup dalam pangkuan keluarga yang bersatu dan dalam lingkungan yang mendukung perkembangan kepribadian anak; hak untuk mengembangkan akalbudi maupun kebebasannya sendiri dalam mencari dan mengenal kebenaran; selain itu hak untuk bekerja, supaya harta-benda bumi didaya-gunakan sebagaimana mestinya, dan dari padanya diperoleh nafkah bagi setiap orang beserta mereka yang menjadi tanggungannya; akhirnya hak untuk degnan bebas membangun keluarga, memperoleh dan mendidik anak-keturunan, dengan menghayati seksualitasnya secara bertanggungjawab. Adapun sumber dan rangkuman hak-hakitu dalam arti tertentu terletak pada kebebasan beragama, dalam arti hak untuk hidup menurut kebenaran imannya sendiri dan sesuai dengan keluhuran martabatnya sebagai pribadi[97].
            Di Negara-Negara yang berhaluan demokrasi pun tidak selalu hak-hak ditegakkan sepenuhya. Yang dimaksudkan di sini bukan hanya skandal pengguguran saja, melainkan juga pelbagai aspek krisis dalam tubuh demokrasi sendiri, yang agaknya ada kalanya kehilangan kekuasaan untuk mengambil keputusan-keputusan demi kesejahteraan umum. Tuntutan-tuntutan yang muncul di kalangan masyarakat tidak dipertimbangkan menurut norma-norma keadilan dan moralitas, melainkan berdasarkan kekuatan jumlah suara yang diperoleh dan kemampuan finansial kelompok-kelompok yang mendukungnya. Lambat-laun kemerosotan perilaku politik itu merongrong segala kepercayaan dan menimbulkan sikap apatis, sehingga partisipasi politik mengalami kemunduran, dan semangat kewarganegaraan turun  di kalangan masyarakat, yang merasa dirugikan dan mengalami frustrasi. Oleh karena itu menjadi semakin sulit untuk mengintegrasikan kepentingan-kepentingan khusus dalam visi yang utuh-menyeluruh tentang kesejahteraan umum. Sebab kesejahteraan umum itu bukan melulu hasilpenjumlahan kepentingan-kepentingan khusus,melainkan memerlukan suatu penilaian dan integrasi kepentingan-kepentingan itu, berdasarkan tata-nilai yang seimbang, lagi pula pada dasarnya menuntut pengertian yang cermat tentang martabat serta hak-hak pribadi manusia[98].
            Gereja menghormati otonomi tata demokrasi yang sah dan sewajarnya dan tidak berhak untuk menyatakan kecondongannya yang khas terhadap bentuk perundang-undangan atau tata kenegaraan yang mana pun juga. Sumangannya bagi tata politik justru terletak pada visinya tetang martabat pribadi manusia, yang dengan jelas diwahyukan sepenuhnya dalam misteri Sang Sabda yang menjelma[99].

CA. 48. Apa yang telah diuraikan tadi berlaku juga bagi peranan Negara di bidang perekonomian. Sebab kegiatan ekonomi, terutama yang menyangkut ekonomi pasar, tidak dapat dikembangkan tanpa ketentuan-ketentuan hukum dan norma-norma yuridis maupun politis. Sebaliknya kegiatan itu mengandaikan jaminanyang sungguh andal terhadap kebebasan perorangan dan milik perorangan, begitu pula situasi moneter yang stabil dan dinas-dinas Pemerintah yang tepat guna. Maka dari itu tugas utama Negara ialah menjaminkepastian, sehingga kaum pekerja maupun para produsen dapat menikmati buah-hasil kerja mereka, dan dengan demikian didorong untuk bekerja secara efektif dan jujur. Bila tidak ada kepastian itu, sedangkan korupsi para pejabat Pemerintah semakin menjadi-jadi, dan modal-modal untuk secara tidak halal memperkaya diri serta keuntungan yang mudah diperoleh semakin bertambah-tambah yang semuanya terwujud dalam tindakan-tindakan melanggar hukum atau melulu berupa spekulasi, di situlah  terdapat salah-satu di antara hambatan-hambatan yang pokok bagi kemajuan dan tata perekonomian.
            Selanjutnya Negara wajib juga mengawasi dan mengatur cara-cara merealisasikan hak-hak manusia di bidang perekonomian . Tetapi dalam hal itu tanggung jawab utama tidak ada pada Negara, melainkan pada warga perorangan dan pelbagai serikat serta kelompok, yang kesemuanya membentuk masyarakat. Negara tidak dapat secara langsung menjamin hak kerja, tanpa hampir secara ”militer” menguasai seluruh kehidupan ekonomi dan membatasi prakarsa warga  perorangan. Itu sama sekali tidak berarti seolah-olah di bidang itu Negara tidak mempunyai wewenang, seperti didengung-dengungkan oleh mereka yang menentang undang-undang mana pun juga di bidang perekonomian. Bahkan Negara wajib mendukung kegiatan-kegiatan bisnis dengan menciptakan kondisi-kondisi untuk menjamin tersediannya peluang-peluang kerja, degnan mendorong kegiatan-kegiatan itu bila barangkali terasa masih kurang intensif, dan dengan mendukungnya di masa-masa krisis yang gawat.
            Selanjutnya Negara berhak campur tangan dengan kewibawaannya, bila monopoli-monopoli tertentu menciptakan kondisi-kondisi atau hambatan-hambatan,yang memperlambat laju pembangunan. Tetapi di samping tugas-tugas menyelaraskan dan mengatur kegiatan-kegiatan demi pembangunan, dalam keadaan-keadaan kekecualian Negara juga dapat mengambil-alih peranan untuk sementara, bila sektor-sektor masyarakat atau sistim-sistim bisnis belum memadai untuk berperanserta semestinya, karena masih cukuplemah atau baru saja mulai jalan. Campurtangan untuk memberi bantuan itu, yang memang dibenarkan bila ada alasan-alasan yang mendesak demi kesejahteraan umum, sedapat mungkin harus dibatasi dalam kurun waktu tertentu, supaya sektor-sektor masyarakat dan sistim-sistim bisnis itu tadi jangan sampai telanjur kehilangan fungsi-fungsinya yang khas, dan supaya lingkup campur tangan Negara jangan sampai meluas keluar proporsi, sehingga kebebasan ekonomi maupun kebebasan para warganegara dirugikan.
            Di masa-masa terkahir ini lingkup campur tangan Negara itu telah meluas sedemikian rupa, sehingga muncullah pola kenegaraan yang dalam arti tertentu baru, yakni: ”Negara Kemakmuran” (”Welfare State”). Perkembangan-perkembangan itu telah berlangsung di berbagai Negara, supaya secara berangsur-angsur sekian banyak kebutuhan dan kemelaratan ditanggapi secara makin tepat-guna, memenuhi rencana-rencana, yang telah disusun untuk menanggulangi berbagai bentuk kemiskinan serta keadaan darurat, yang tak layak bagi pribadi manusia. Akan tetapi masih terjadi juga ekses-ekses dan eksploatasi, yang khususnya di masa-masa terakhir ini mengundang kecaman-kecaman yang cukup pedas terhadap ”Negara Kemakmuran” itu, yang juga dijuluki ”Negara Bantuan Sosial”. Cacat-cela dan aspek-aspek negatif ”Negara Bantuan sosial” itu bersumber pada pengertian yang timpang tentang tugas-kewajiban Negara sendiri. Di situ pula prinsip subsidiaritas perlu ditegakkan, yakni: suatu kelompok masyarakat tingkat lebih tinggi jangan mencampuri kehidupan intern kelompok lebih rendah, atau mengambil-alih fun gsi-fungsinya; tetapi sebaliknya harus mendukung dan membantunya bila terdesak oleh berbagai kebutuhan, dan menolongnya memadukan kegiatannya dengan kegiatan kelompok-kelompok sosial lainnya, selalu demi kesejahteraan umum[100].
            Dengan bercampur tangan secara langsung dan dengan demikian merebut tanggung jawab masyarakat, ”Negara Bantuan Sosial” menekan daya-kekuatan sosial dan manusiawi, dan mengakibatkan munculnya semakin banyak dinas-dinas pemerintah, yang seringkali dikemudikan oleh sistim-sistim birokrasi,lebihdari pada oleh kepedulian untuk sungguh melayani anggota masyarakat, dan yang disertai degnan tambahan pembiayaan yang sangat besar. Tetapi barangsiapa mengenal suatu kebutuhan dari lebih dekat, bahkan menjadi sesama terdekat bagi mereka yang terdesak oleh kebutuhan itu, agaknya dapat lebih memahami dan memberi bantuan yang lebih efektif juga. Perlu ditambahkan: tuntutan-tuntutan tertentu harus ditanggapi bukansaja denganbantuan materiil, melainkan kebutuhan-kebutuhan manusiawi yang lebih mendalam perlu dipenuhi juga. Ingatlah saja akan kondisi hidup para pengungsi dan perantau, begitu pula mereka yang terlantar, lanjut usia dan sedang sakit, dan mereka semua yang memerlukan segala macam pertolongan, seperti mereka yang kecanduan narkotika. Mereka itu semua dapat dibantu secara efektif, selain melalui proses pengobatan, juga melalui dukungan persaudaraan yang mendalam.

CA.49. Dengan karya-kegiatannya di bidang itu Gereja selalu memberi bantuan, dan patuh-setia kepada perintah Kristus Pendirinya senantiasa siap sedia untuk menolong menolong mereja yang kekurangan, sedemikian rupa sehingga mereka tidak merasa direndahkan atau dianggap sebagai obyek yang dilindungi semata-mata, melainkan diangkat dari keadaan mereka melalui peningkatan martabat mereka selaku pribadi. Dengan rasa syukur yang tiada hingganya kepada Allah harus dikemukakan, bahwa cinta kasih yang sungguh-sungguh nyata tiada hentinya dilaksanakan dalam gereja, bahkan pada zaman sekarang ini mengalami perkembangan yang intensif di pelbagai bidang. Secara istimewa perlu disebutkan bakti sukarela, yang didukung oleh Gereja. Gereja ikut meningkatkan usaha-usaha itu, sementara mendorong semua orang untuk berpadu tenaga, supaya pengabdian sukarela itu mendapat dukungan dan makin berkembang. Tetapi untuk mengatasi mentalitas individualisme, yang sekarang ini semakin merajalela, dibutuhkan kesanggupan konkrit akan solidaritas dan cinta kasih, mulai dari dalam keluarga dengan dukungan timbal-balik antara suami dan isteri, kemudian dengan perhatian timbal-balik yang nyata antara genarasi yang satu dan yang lain. Dalam artiitu keluarga memutuskan untuk hidup sepenuhnya menurut panggilannya, dapat terjadi juga, bahwa keluarga itu tidak mendapat bantuan Negara yang dibutuhkannya, sehingga dengan demikian hidup tanpa jaminan yang sewajarnya. Maka dari itu cukup mendesaklah, supaya kebijakan-kebijakan tentang kehidupan keluarga ditingkatkan, begitu pula kebijakan-kebijakan sosial yang memusatkan perhatian pada keluarga, yang perlu didukung dengan bantuan-bantuan yang memadai serta upaya-upaya yang efisien, dalam mendidik anak-keturunan maupun memelihara mereka yang lanjut usia, jangan sampai mereka itu keluar dari lingkungan keluarga, dan untuk memperkokoh hubungan-hubungan antar generasi[101].
            Di samping keluarga, kelompok-kelompok menengah lain memainkan peranan utama dan membentuk jaringan-jaringan solidaritas yang khusus. Sebab sementara memainkan peranannya, semua kelompok itu berkembang sebagai rukun-rukun hidup, yang ibarat menganyam jaringan-jaringan sosial, sambil mencegah, jangan sampai masyarakat merosot menjadi massa tanpa jati-diri dan anonim, sesuatu yang-sayang sekali! –dalam masyarakat zaman sekarang sering sekali terjadi. Dalam pelbagai jaringan hubungan-hubunganlah pribadi manusia mengarungi masa hidupnya dan masyarakat berperan-serta secara semakin bertanggung jawab. Dewasa ini manusia seringkali terhimpit antara dua pihak, yakni Negara dan pasar. Sebab kadang-kadang ia nampaknya hanyalah berperan sebagai produsen dankonsumen saja, atau sebagai sasaran administrasi Negara. Sedangkan sudah tidak terpikirkan lagi, bahwa kehidupan masyarakat tidak terarahkan kepada pasar atau Negara sebagai tujuannya. Sebab kehidupan itu sendiri mengemban nilai unik, yang harus dilayani baik oleh Negara maupun oleh pasar. Manusia itu pertama-tama mencari kebenaran, dan sekaligus melalui hidupnya berusaha mewujudkan kebenaran itu dan semakin menyelaminya melalui dialog yang meliputi zaman-zaman yang silam maupun yang akan datang[102].

CA.50. Dari usaha mencari kebenaran secara terbuka itu, yang diperbaharui di setiap generasi, faham kebudayaan dan perilaku manusiawi bangsa memperoleh ciri-cirinya. Sebab pusaka nilai-nilai tradisional yang telah diperoleh di masa lampau selalu menghadapi tantangan dari pihak generasi muda. Tantangan itu tidak berarti mau menolak atau menghancurkan a priori nilai-nilai itu, melainkan terutama: mau menguji-cobanya pada kenyataan hidupnya sendiri, sehingga melalui uji-coba itu nilai-nilai tadi lebih menjadi nyata, relevan, dan menyentuh pribadi, dengan membedakan unsur-unsur tradisi yangmasih berlaku dari unsur-unsur yang bersifat semu dan sesat, dan dari bentuk-bentuk yang sudah usang, yang dapat digantikan dengan adat-istiadat yang mengikuti zaman.
            Dalam konteks itu perlu diingat pula, bahwa pewartaan Injil pun meresap dalam kebudayaan bangsa-bangsa, dengnamendukung kebudayaan dalam perjalanannya menuju kebenaran, dan dalam proses penjernihan dan perkayaannya[103]. Akan tetapi bila kebudayaan mengukung diri dan berusaha melestarikan unsur-unsur yang sudah usang, serta menolak segala pertukaran pandagnan dan diskusi mengenai kebenaran tentang manusia, kebudayaan itu mandul dan mulai merosot.

CA.51. Seluruh kegiatan manusia berlangsung dalam lingkup suatu kebudayaan, dan keduanya saling mempengaruhi. Supaya kebudayaan itu mengalami pengembangan yang serasi, manusia harus melibatkan diri sepenuhnya. Di situlah ia mengerahkan daya-ciptanya, kecerdasan, dan pengetahuannya tentang dunia dan manusia. Di situ pula ia menggelarkan kemampuannya untuk mengendalikan diri, serta menyumbangkan pengorbanannya, solidaritasnya, serta kesediaannya untuk memajukan kesejahteraan umum. Maka dari itu tugas yangpertama dan utama berlangsung dalam hati manusia. Tetapi caranya berusaha membangun masa depannya sendiri tergantung dari pengertiannya tentang dirinya dan tentang arah-tujuan hidupnya. Di situlah letak sumbangan Gereja  yang khusus dan menentukan bagi kebudayaan dan kemanusiaan. Sebab Gereja menegakkan keluhuran perilaku manusiawi, yangmendukung kebudayan perdamaian, melawan pola-pola yang mencerminkan, bahwa perorangan tenggelam dalam massa, karena peranan maupun kebebasannya tidak diakui, sedangkan keagungannya ditaruh dalam seni konflik dan perang. Gereja menyelenggarakan pelayanannya dengan mewartakan kebenaran tentang penciptaan dunia, yang oleh Allah telah dipercayakan ke dalam tangan manusia, supaya manusia menjadikannya subur dan menyempurnakannya melalui kegiatannya, dan dengan menyiarkan kebenaran tentang karya penebus, ketika Putera Allah menyelamatkan semua orang dan serta-merta menghimpun umat manusia, supaya para anggotanya saling bertanggung jawab. Kitab suci tiada hentinya berbicara tentang pengabdian seutuh hati terhadap sesama, dan mendesak kita supaya bertanggung jawab atas segenap bangsa.
            Kewajiban itu tidak terbatas pada lingkup keluarga, bangsa atau Negara, melainkan tahap demi tahap meliputi segenap keluarga manusia, sehingga tiak seorang pun boleh memandang dirinya asing atau tidak terlibat dengan nasib sesama anggota umat manusia. Tidak seorang pun dapat mengatakan, bahwa ia tidak ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan saudaranya (bdk. Kej 4:9; Luk 10:29-37; Mat 25:31-46)! Keprihatinan yang siap-siaga dan berusaha sepenuhnya terhadap sesama yang tertekan oleh kebutuhan yang mendesak-yang sekarang ini sangat didukung juga oleh media komunikasi yang baru, yang mendekatkan orang-orang satu dengan yang lain-secara khusus menjadi penting berkenaan dengna cara-cara untuk memecahkan konflik-konflik internasional tanpa perang. Jelaslah sudah, bahwa kekuatan dahsyat alat perlengkapan penghancuran, yang sekarang ini terjangkau oleh Negara-Negara yang tak begitu besar juga, lagi pula hubungan yang semakin erat antara bangsa-bangsa di seluruh dunia, sangat mempersukar atau praktis tidak memungkinkan usaha untuk membatasi konsekuensi-konsekuensi perang.
CA.52. Paus Benediktus XV dan para pengganti beliau dengan jelas sekali menyadari bahaya itu[104]. Kami sendiri-ketika Teluk Persia ditimpa perang begitu mengerikan-mengulangi seruan:”Jangan pernah ada perang lagi!” Jangan! Jangan pernah ada perang lagi, yang membinasakan rakyat tak berdosa, mengajarkan cara-cara membunuh, bahkan menghancurkan kehidupan para pelaku pembunuhan juga, meninggalkan arus kebencian dan rasa dendam yang berkelanjutan. Akhirnya masih mempersukar pemecahan masalah-masalah, yang semula menimbulkan perang itu juga!Seperti sekarang ini di Negara-Negara tertentu ganti dendam dan pembalasan perorangan sudah berlaku kedaulatan hukum, begitu pula sudah mendesaklah, bahwa langkah kemajuanseperti itu ditingkatkan dalam persekutuan bangsa-bangsa. Tetapi hendaknya jangan dilupakan, bahwa biasanya perang itu disebabkan oleh faktor-faktor yang sungguh berat dannyata, yakni: perlakuan-perlakuan yang bertentangan dengan keadilan, aspirasi-aspirasi wajar yang tidak dipenuhi, kemelaratan, dan eksploatasi massa yang sudah putus asa, yang tidak diberi kesempatan untuk melalui cara-cara damai meningkatkan mutu hidup mereka.
            Oleh karena itu istilah lain untuk damai ialah kemajuan[105]. Seperti ada tanggung jawab bersama untuk menghindari perang, begitu pula ada tanggung jawab bersama untuk mendukung kemajuan. Seperti di dalam kawasan suatu bangsa dapat dan harus dikembangkan perekonomian sosial sedemikian rupa, sehingga pasar sendiri ditujukan kepada kesejahteraan umum, begitu pula hal itu dibutuhkan pada tingkat internasional. Untuk maksud itu perlulah ada usaha yang sungguh intensif untuk menggalang saling pemahaman dan saling pengertian, dan untuk membina kepekaan suara hati. Itulah kebudayaan yang sungguh didambakan, yang meningkatkan kepercayaan akan potensi-potensi manusiawi yang ada pada kaum miskin, pun juga bahwa mereka dapat disiapkan untuk melalui kerja meningkatkan kondisi hidup mereka, dan untuk menyumbangkan peranserta mereka demi kesejahteraan ekonomi. Tetapi supaya maksud itu tercapai, mereka yang miskin-baik perorangan maupun Negara-membutuhkan jaminan-jaminan dan sarana-sarana yang memadai. Menciptakan kondisi-kondisi itu merupakan tanggung jawab seluruh dunia yang mau mendukung pembangunan, suatu usaha yang sekaligus berarti bahwa sebagian dominasi dan kekuasaan, yang ada pada perekonomian-perekonomian yang lebih sejahtera, dikorbankan[106].
            Bila keputusan-keputusan semacam itu diambil, cara-cara hidup yang sudah membaku dapat mengalami perubahan drastis, yakni untuk membendung pemborosan sumber-sumber daya manusia dan alam, sehingga baik perorangan maupun bangsa-bangsa di dunia ini berpeluang mendaya-gunakannya secukupnya. Di samping itu semua diperhitungkan pula sumber-sumber materiil dan nilai-nilai rohani baru, buah-hasil kerja serta kebudayaan para bangsa, yang sekarang berada di pinggiran masyarakat internasional. Dengan demikian akhirnya tercapai pengembangan harta-kekayaan manusiawi secara menyeluruh, yang menjadi milik segenap keluarga bangsa-bangsa.



BAB VI
MANUSIA IALAH JALAN BAGI GEREJA

CA.53. Menghadapi penderitaan kaum pekerja Paus Leo XIII menyatakan: ”Tema ini kamidekati penuh kepercayaan, sesuai semata-mata dengan hak kami....Dengan mendiamkannya saja kami akan memberi kesan melalaikan kewajiban kami”[107]. Selama seratus tahun terakhir ini Gereja sudah cukup sering mengungkapkan pandangannya, sambil dari dekat memantau perkembangan terus menerus masalah sosial. Jelas Gereja tidak menjalankan itu untuk memperoleh kembali hak-hak istimewa di masa lampau, atau untuk menonjol-nonjolkan pandanganya. Satu-satunya maksudnya ialah menjalankan reksa dan tanggung jawabnya atas manusia, seperti itu oleh Kristus sendiri telah dipercayaikan kepadanya, yakni tentang manusia, yang menurut amana Konsili Vatikan II merupakan satu-satunya makhluk, yang oleh Allah dikehendaki demi dirinya sendiri, yakni supaya ia ikut menikmati keselamatan kekal. Jelaslah yang dibicarakan di sini bukan manusia ”abstrak”, melainkan manusia menurut kenyataannya, ”konkrit” dan ”menyejarah”. Yang menjadi pokok bahasan ialah setiap manusia, sebab setiap manusia ditampung dalam misteri Penebusan, dan dengan setiap manusia melalui misteri itu juga Kristus telah menyatukan diri untuk selamanya[108]. Kesimpulannya ialah, bahwa Gereja tidak boleh meninggalkan manusia, dan bahwa ”manusia itu sendirilah.....bagaikan jalan utama, yang harus ditempuh oleh Gereja dalam menunaikan perutusannya, melewati misteri Penjelmaan Sang Sabda dan Penebusan”[109].
            Hanya itu sajalah prinsip yang  mengarahkan ajaran sosial Gereja. Tahap demi tahap Gereja telah mengembangkannya secara sistematis, terutama sejak tahun yang kami kenangkan itu. Gereja menjalankannya, karena cakrawala penentu seluruh kekayaan ajaran Gereja ialah manusia sendiri dalam seluruh kenyataan konkritnya sebagai pendosa maupun orang benar.

CA.54. Adapun sekarang ini ajaran sosial Gereja memusatkan perhatian pada manusia, sebagaimana ia terlibat dalam jaringan hubungan-hubungan yang serba rumit dalam masyarakat modern. Ilmu-ilmu manusia dan filsafah memang besar sumbangannya untuk menafsirkan peranan manusia yang sentral dalam masyarakat, sehingga manusia juga dapat lebih memahami diri sebagai ”kenyataan sosial”. Akan tetapi hanya imanlah yang sepenuhnya menyingkapkan baginya jati-dirinya yang sesungguhnya. Dan justru iman itulah titik-tolak ajaran sosial Gereja, yang dengan memanfaatkan sumbangan ilmu-pengetahuan maupun filsafat bermaksud sanggup manusia dalam perjalanannya menuju keselamatan.
            Maka Ensiklik ”Rerum Novarum” dapat disambut sebagai pelengkap yang sangat berbobot bagi penyelidikan sosio-ekonomi menjelang akhir abad XIX. Tetapi nilainya yang utama terletak pada kenyataan, bahwa Ensiklik itu merupakan Dokumen Magisterium, yang bersama dengan Dokumen-dokumen lainnya yang sejenis mendukung karya Gereja mewartakan Injil. Demikian menjadi jelaslah bahwa ajaran sosial Gereja sendiri merupakan upaya yang tanggung bagi pewartaan Injil. Sebagai upaya Evangelisasi ajaran sosial itu mewartakan Allah beserta misteri keselamatan-Nya dalam Kristus kepada semua orang, dan justru karena itu mengungkapkan hakekat manusia bagi diri manusia sendiri. Dalam rangka itu, dan hanya dalam terang itulah semua pokok lainnya dibahas: hak-hak perorangan, khususnya hak-hak ”kaum pekerja”, hak-hak yang menyangkut keluarga dan pendidikan, tugas-kewajiban Negara, tata-kemasyarakatan pada tingkat nasional dan internasional, kehidupan ekonomi dan kebudayaan, damai dan perang, hormat terhadap kehidupan sejak di rahim ibu hingga saat kematian.

CA.55. Gereja memahami ”makna manusia” berkat perwahyuan ilahi. ”Sebab untuk sungguh menyelami diri kita sebagai manusia, manusia sejati, manusia seutuhnya, kita perlu mengenal Allah sendiri dulu”, demikian Paus Paulus VI, yang kemudian mengutip ungkapan Santa Katarina dari Siena, yang mencetuskan gagasan itu juga dalam doanya: ”Dalam hakekat-Mu, ya Allah yang kekal, akan kukenal hakekatku”[110].
            Maka dari itu antropologi kristiani memang merupakan suatu fasal dalam teologi, dan berdasarkan alasan itu pula ajaran sosial Gereja, dengan ulasannya tentang manusia dan perhatiannya terhadap manusia serta perilakunya di dunia, ”termasuk bidang teologi, khususnya teologi moral”[111]. Dimensi teologi itu agaknya memang perlu untuk memahami maupun memecahkan masalah-masalah aktual dalam masyarakat. Itu memang kena sasaran juga untuk menanggapi pemecahan ”ateis”-baiklah ini diperhatikan-yang mengabaikan dimensi manusia yang penting sekali, yakni dimensi rohani, begitu pula untuk menanggapi pemecahan-pemecahan yang berhaluan serba memperbolehkan segala-galanya dan konsumerisme, yang berkedok bermacam-macam dalih pada dasarnya bermaksud meyakinkan manusia, bahwa ia bebas-merdeka dari segala hukum dan dari Allah sendiri, dan dengan demikian mengung-kungnya dalam cinta dirinya melulu, sehingga ia akhirnya merugikan diri sendiri maupun sesama.
            Sementara Gereja mewartakan keselamatan Allah kepada manusia, dan melalui sakramen-sakramen mengikut-sertakannya dalam kehidupan ilahi  yang disajikannya, bila Gereja dengan menekankan perintah cinta kasih terhadap Allah dan sesama mengarahkan hidup manusia, Gereja sangat berjasa dalam memperkaya martabat manusia. Tetapi, seperti Gereja tidak dapat meninggalkan misi keagamaannya yang luhur demi manusia, begitu pula Gereja menyadari, bahwa sekarang ini kegiatannya terbentur pada rintangan-rintangan dan kesukaran-kesukaran yang besar sekali. Itulah sebabnya mengapa Gereja dengan daya-kekuatan serta cara-cara yang selalu baru membaktikan diri kepada pewartaan Injil demi pengembangan manusia seutuhnya. Juga di ambang millennium ketiga Gereja tetap menjadi ”tanda....dan jaminan keunggulan pribadi manusia”[112], sebagaimana itu selalu diusahakannya sejak awalmula riwayat hidupnya, seraya mengarungi sejarah menyertai manusia. Ensiklik ”Rerum Novarum” sendiri merupakan buktinya yang gemilang.

CA. 56. Pada ulang tahun keseratus Ensiklik itu kamiingin menyampaikan terima kasih kepada siapa saja, yang berusaha mempelajari, menyelami dan menyebarluaskan ajaran sosial kristiani. Untuk maksud itu perlulah kerja sama Gereja-Gereja setempat. Maka kami berharap, supaya kenangan sekarang ini membuka kesempatan bagi tumbuhnya semangat baru untuk mempelajari, menyiarkan dan menerapkan ajaran itu dalam situasi-situasi yang serba aneka.
            Secara khusus kami menginginkan supaya ajaran sosial itu dikenal dan dilaksanakan di berbagai Negara, yang sesudah tumbangnya ”Sosialisme Reil” mengalami pergolakan besar dalam usaha pembaharuan. Di pihak lain Negara-Negara Barat menghadapi risiko menganggap keruntuhan itu melulu sebagai kemenangan tata perekonomiannya sendiri, dan karena itu tidak berusaha mengadakan perbaikan-perbaikan yang perlu bagi sistim mereka itu. Sementara itu Negara-Negara Dunia Ketiga lebih dari di masa lampau serba terhambat, berada dalam kondisi jauh terbelakang, yang kian hari semakin parah.
            Sesudah merumuskan prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman untuk memecahkan masalah kaum pekerja, Paus Leo XIII menyampaikan pernyataan yang sangat tegas, ”Setiap orang harus mulai bekerja di bidangnya sendiri, dan itu sesegera mungkin, supaya keadaan buruk yang sudah seperah itu jangan semakin sulit disembuhkan karena pengobatan ditunda-tunda saja”. Dan beliau tambahkan: ”Mengenai Gereja sendiri: bagaimana pun juga tak pernah Gereja akan ketinggalan bekerja sama!”[113].

CA. 57. Oleh Gereja amanat sosial Injil tidak dapat dipandang sebagai suatu teori yang indah melulu, melainkan terutama sebagai dasar yang nyata dan motivasi untuk bertindak. Digerakkan oleh amanat itu beberapa orang di antara umat kristiani pertama membagikan harta-miliknya kepada kaum miskin, dan dengan demikian memberi kesaksian, bahwa sungguhpun berasal dari pelbagai lapisan masyarakat, mereka toh tetap mungkin hidup bersama dalam damai dan keselarasan. Berkat kekuatan Injil para rahib di sepanjang zaman bercocok-tanam, para reliduius pria maupun wanita mendirikan rumah-rumah sakit dan penginapan-penginapan untuk menampung kaum miskin, serikat-serikat maupun pria dan wanita perorangan dari golongan mana pun membaktikan diri kepada mereka yang serba miskin dan tersingkirkan melalui amal kemurahan hati, karena insyaf, bahwa amanat Kristus: ”Apa pun yang telah kamu lakukan terhadapsalah seorang di antara saudara-saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan terhadap Aku” (Mat 25:40) tidak dimaksudkan untuk tetap menjadi suatu keinginan yang saleh melulu, melainkan supaya menjadi kesanggupan hidup yang nyata.
            Lebih dari di masa lampau Gereja menyadari, bahwa amanat sosialnya akan berwibawa dan layak dipercaya terutama berdasarkan kesaksian lewat tindakan nyata dari pada karena keserasian dan konsistensi intrinsiknya. Kesadaran itu pulalah, yang mendasari sikap mengutamakan kaum miskin, kendati tanpa pernah menolak kelompok-kelompok lain atau menjalankan itu tidak hanya terbatas pada kemiskinan materiil, karena sudah jelaslah, bahwa khususnya di masyarakat sekarang terdapat begitu banyak jenis kemiskinan, bukan di bidang perekonomian semata-mata, melainkan juga di bidang pendidikan dan keagamaan. Cinta Gereja penuh keprihatinan terhadap kaum miskin, yang memang sangat dititikberatkan olehnya dan tetap berlangsung sebagai suatu aspek dalam pusaka tradisinya, mendorongnya untuk menatap dunia, yang memang ditandai kemajuan teknologi dan ekonomi, tetapi toh dilanda oleh kemelaratan sedemikian parahnya, sehingga mencapai proporsi-proporsi yang amat mengerikan. Di kawasan Negara-Negara Barat dialami aneka bentuk kemiskinan pada golongan-golongan rakyat yang serba terlantar, kaum lanjut usia dan dan para penderita penyakit, para korban konsumerisme, dan yang lebih gawat lagi: kemiskinan para pengungsi dan kaum emigran. Sedangkan di Negara-Negara yang sedang berkembang diperkirakan akan muncul krisis-krisis dahsyat , yang hanya mungkin dihindari, bila sebelum terlambat diambil langkah-langkah pencegahan yang memadai pada tingkat internasional.

CA.58. Cinta kasih terhadpa sesama, dan terutama terhadap kaum miskin, yang bagi Gereja menampilkan Kristus, diwujudkan secara nyata dalam usaha untuk memajukan keadilan. Keadilan takkan pernah tercapai sepenuhnya, selama orang miskin, yang meminta bantuan untuk mempertahankan hidupnya, masih dianggap menggangu atau suatu beban, dan bukan sebagai kesempatan untuk beramal baik, dan peluang untuk memperkaya kepribadian. Hanya kesadaran itulah yang akan membangkitkan keberanian untuk menempuh resiko dan mulai mengubah sikap, seperti diperlukan dalam usaha yang serius untuk membantu sesama. Sebab soalnya bukanhanya memberikan hal-hal yang sudah tidak dibutuhkan lagi, melainkan membantu sepenuhnya bangsa-bangsa yang tersisihkan dan terlantar, yang terhalang untuk memasuki gelanggang pengembangan ekonomi. Itu baru akan dapat terlaksana, bila didaya-gunakan kelebihan buah –hasil bumi yang melimpah, dan terutama bila ada perubahan-perubahan dalam corak-cara hidup, dalam pola-pola produksi dan konsumsi, begitu pula dalam sistim maupun struktur-struktur pemerintahan yang sudah membaku, yang sekarnag ini menguasai masyarakat. Soalnya bukan pula meniadakan upaya-upaya organisasi kemasyarakatn, yang terbukti masih berfaedah, melainkan mengarahkannya menurut pengertian yang memadai tentang kesejahteraan umum, dan mengindahkan segenap keluarga manusia. Sebab sekarang ini terjadi apa yang disebut ”globalisasi tata perekonomian”, yang memang tidak usah ditolak, karena dapat membuka peluang-peluang yang luar biasa, untuk secara intensif meningkatkan kesejahteraan. Akan tetapi semakin terasa betapa perlulah internasionalisasi perekonomian itu diiringi dengan lembaga-lembaga interansional yang efektif untuk mengendalikan serta mengarahkan tata perekonomian bangsa-bangsa kepada kesejahteraan umum, sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan oleh negara secara individual, kendati yang paling berkuasa di seluruh dunia sekalipun. Untuk mencapai sasaran itu, perlulah koordinasi yang semakin mantap antara Negara-Negara besar, begitu pula perlindungan kepentingan-kepentingan maupun hak-wewenang seluruh bangsa manusia secara serasi pada badan-badan internasional. Selain itu dalam memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi keputusan-keputusannya, badan-badan itu perlulah mengindahkan secukupnya bangsa-bangsa serta Negara-Negara, yang kurang berperanan dalam pasar internasional, melainkan justru tertindih oleh beban kebutuhan-kebutuhan yang amat berat dan mendesak, sehingga memerlukan bantuan-bantuan yang lebih besar untuk mengembangkan diri. Sudah jelaslah, bahwa di bidang ini masih banyak sekali yang perlu diusahakan.

CA.59. Oleh karena itu, supaya tuntutan-tuntutan keadilan terpenuhi dan usaha-usaha manusia untuk menegakkannya sungguh berhasil, diperlukan kurnia yang bersumber pada Allah. Rahmat itu, disertai kerja sama manusia dalam kebebasannya merupakan kehadiran Allah penuh misteri dalam sejarah dunia, yang tak lain ialah Penyelenggaraan-Nya.
            Pengalaman pembaharuan, yang berlangsung bila manusia mengikuti Kristus, harus disalurkan kepada sesama dalam kenyataan konkrit sehari-hari kesukaran-kesukaran serta perjuangan mereka, masalah-persoalan maupun tantangan-tantangan yang mereka hadapi, sehingga semuannya itu disinari dan menjadi lebih manusiawi dalam cahaya iman. Sebab iman tidak hanya membantu untuk mengatasi keadaan-keadaan itu, melainkan menjadikan situasi-situasi penderitaan lebih ringan ditanggung oleh manusia, sehingga ia tidak tercengkam olehnya, dan lupa akan martabat serta panggilannya.
            Selanjutnya ajaran sosial Gereja menampilkan dimensi penting sekali, yakni bersifat interdisipliner. Sebab supaya satu-satunya kebenaran tentang manusia semakin nyata dikonkritkan dalam peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, dan politik yang memang bermacam-ragam dan tiada hentinya silih-berganti, ajaran sosial itu menjalin dialog dengan pelbagai ilmu-pengetahuan tentang manusia. Ajaran Gereja mengasimilasikan buah-hasil ilmu-ilmu itu dalam dirinya, serta membantunya untuk membuka dan memperluas lingkup pelayanannya kepada pribadi manusia perorangan, yang dikenal dan dikasihinya dalam kepenuhan panggilannya.
            Di samping dimensi interdisipliner itu perlu disebut juga dimensi kegunaan praktis ajaran sosial itu dan pengakarannya dalam pengalaman konkrit. Sebab ajaran itu menempatan diri pada tiik-temu antara kehidupan serta suarahati kristiani di satu pihak dan kenyataan-kenyataan konkrit dunia di pihak lain. Ajaran itu mengejawantahkan dalam usaha-usaha yang dijalankan oleh kaum beriman secara perorangan, keluarga-keluarga, mereka yang berkecimpung di bidang kebudayaan dan dalam hidup kemasyarakatan, para tokoh politik dan pemimpin Negara, untuk mewujud-nyatakan serta menerapkan ajaran itu dalam sejarah.

CA.60. Seraya menggariskan prinsip-prinsip untuk memecahkan persoalan kaum pekerja, Paus Leo XIII menulis:”Masalah yang sebesar itu jelas mengundang jerih-payah dan perjuangan pihak-pihak lain juga”[114]. Sri Paus yakin, bahwa hanya bila semua tenaga dan sumber daya dikerahkan secara terpadulah persoalan-persoalan berat yang ditimbulkan oleh masyarakat industri akan dapat dipecahkan. Pernyataan itu kemudian menjadi unsur permanen ajaran sosial Gereja. Itu pula yang menjelaskan, mengapa Paus Yohanes XXIII mengalamatkan Ensiklik beliau tentang perdamaian internasional sekaligus kepada ”semua orang yang beriktikad baik”.
            Akan tetapi dengan sedih hati Paus Leo XIII menyaksikan, bahwa ideologi-ideologi besar di zaman beliau, terutama Liberalisme dan Marxisme, menolak kerja sama itu. Sementara ini telah terjadi banyak perubahan, khususnya dalam tahun-tahun terakhir ini. Dunia zaman sekarang semakin menyadari, bahwa pemecahan masalah-masalah besar dalam bangsa-bangsa dan pada tingkat internasional sama sekali tidak terletak hanya dalam hal produksi perekonomian atau dalam suat organisasi yuridis atau sosial masyarakat, melainkan menuntutu adanya prinsip-prinsip etika serta keagamaan, begitu pula perombakan mentalitas, perilaku dan struktur-struktur. Secara khas Gereja memandang diri bertanggung jawab untuk melaksanakan peran serta itu, dan-seperti telah kami cantumkan dalam Ensiklik ”Sollicitudo Rei Socialis”,-ada harapan cukup mantap, bahwa golongan amat besar mereka, yang tidak memeluk agama mana pun juga, akan mampu menyumbangkan pemikirannya untuk meletakkan dasar etika yang diperlukan untuk menganggapi masalah sosial[115].
            Selanjutnya dalam Ensiklik itu kami juga menyerukan kepada Gereja-Gereja kristen dan semua agama yang tersebar di seluruh dunia, supaya semuanya serentak memberi kesaksian tentang keyakinan-keyakinan kita bersama mengenai martabat manusia yang diciptakan oleh Allah[116]. Sebab kami yakin, bahwa sekarang ini dan di masa mendatang agama-agama akan memainkan peranan penting sekali dalam memelihara perdamaian dan membangun masyarakat yang layak bagi manusia.
            Memang kesediaan untuk dialog dan kerja sama perlu bagi semua orang yang berkehendak baik, terutama bagi perorangan maupun kelompok-kelompok yang mengemban tanggung jawab khusus di bidang politik, sosial, dan ekonomi pada tingkat nasional maupun internasional.

CA.61. Pada awal masyarakat industri suatu ”keharusan yang menyerupai beban budak belian”-lah, yang mendorong Pendahulu kami, untuk mengangkat suara membela manusia. Selama seratus tahun berturut-turut Gereja telah tetap setia terhadap kewajiban itu! Memang benarlah,pada zaman penuh pergolakan, sementara pertentangan kelas berkecamuk sesudah Perang Dunia I Gereja berperanserta untuk melindungi manusia terhadap eksploatasi di bidang perekonomian dan terhadap tirani pemerintah-pemerintah totaliter. Seusai Perang Dunia II Gereja menempatkan martabat pribadi manusia di pusat amanat-amanat sosialnya, seraya menekankan bahwa harta-benda materiil diperuntukkan bagi semua orang, dan bahwa tata masyarakat harus bebas dari segala penindasan, dan didasarkan pada kemauan untuk bekerja sama dan menggalang solidaritas. Sesudah itu Gereja terus menerus menyerukan, bahwa pribadi manusia maupun masyarakat tidak hanya membutuhkan harta-benda materiil itu, melainkan harta-kekayaan rohani dan keagamaanjuga. Selanjutnya Gereja semakin menyadari, bahwa terlampau banyak orang tidak menikmati kesejahteraan dunia Barat, melainkan menderita kemiskinan Negara-Negara yang sedang berkembang,dan menanggung nasib yang sampai sekarang pun masih ”menyerupai beban budak belian”. Maka Gereja telah dan tetap merasa wajib untuk menyiarkan kenyataan-kenyataan itu sejelas mungkin dan sejujur-jujurnya, walaupun menyadari bahwa seruannya itu tidak selalu akan disambut baik oleh khalayak ramai.
            Seratus tahun sesudah Ensiklik ”Rerum Novarum” terbit Gereja tetap masih menghadapi hal-hal baru” dan tantangan-tantangan baru. Maka dari itu kenangan ulang tahun keseratus ini harus meneguhkan kesanggupan berbakti pada semua orang yang beriktikad baik, terutama pada umat beriman.

CA.62. Ensiklik kami ini telah melihat kembali masa lampau, tetapi terutama menjangkau ke arah masa depan. Seperti Ensiklik ”Rerum Novarum” pada waktu itu, begitu pula Ensiklik kami menjelang abad yang baru, dan –dengan bantuan Allah-dimaksudkan sebagai persiapan untuk menyambutnya.
            Di setiap masa ”Keadaan baru” yang sejati dan kekal-abadi bersumber pada Allah yang bersabad:”Lihatlah, Aku membaharui segala sesuatu” (Why 21:5). Amanat itu menunjuk kepada kepenuhan sejarah, bila Kristus ”menyerahkan kerajaan Allah dan Bapa..., sehingga Allah menjadi semuannya dalam segalanya” (1Kor 15:24, 28). Tetapi orang  kristiani menyadari, bahwa ”keadaan baru”, yang kita dambakan kepenuhannya bila Tuhan kelak datang kembali, sudah ada sejak dunia diciptakan, atau lebih tepat sejak dalam diri Kristus Yesus Allah telah menjadi manusia, dan bersama dengan-Nya serta dengan perantaraanNya telah terjadilah ”ciptaan baru” (2Kor 5:17; Gal 6:15).
            Untuk menghakhiri Ensiklik ini kami mengucapkan syukur lagi kepada Allah yang mahakuasa, yang telah mengurniakan kepada Gereja-Nya terang dan kekuatan, untuk mendampingi manusia selama perjalanannya di dunia ini menuju zaman akhirat. Selama millennium ketiga pun Gereja akan tetap sama kesetiaannya, sambil menjadikan jalan manusia jalannya sendiri. Gereja menyadari, bahwa ia tidak sendirian menempuh perjalanannya, melainkan bersama dengannn Kristus Tuhannya.. Sebab Dia sendiri telah menjadikan jalan manusia jalan-Nya sendiri, dan menuntun perjalanan manusia, kendati tuntunan Tuhan itu tidak disadarinya.
            Santa Maria, Bunda Sang Penebus, selalu mendampingi Kristus dalam perjalananNya menuju umat manusia dan bersama dengannya. Maria mendahului Gereja dalam peziarahan imannya. Semoga doanya sebagai Bunda menyertai bangsa manusia yang menyongsong millenium mendatang, dalam kesetiaan sepenuh-penuhnya terhadap Dia,yang ”sama kemarin dan hari ini dan selama-lamanya” (Ibr 13:8), yakni Yesus Kristus Tuhan kita. Dalam nama-Nya itulah kami sampaikan berkat kami setulus hati kepada anda sekalian.

            Diterbitkan di Roma, di Gereja Basilik Santo Petrus, tanggal 1 Mei, pada hari kenangan Santo Yusuf Pekerja, tahun 1991, tahun ke-tiga belas masa Kepausan kami.

Paus Yohanes Paulus II

           



[1] PAUS LEO XIII, Ensiklik “Rerum Novarum” (tgl.15 Mei 1891): “Leonis XIII P.M.Acta”, Roma 1892, hlm. 97-144.
[2] PAUS PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno” (tgl.15 Mei 1931): AAS 23 (1931) hlm.177-228; PAUS PIUS XII, Amanat Radio tgl. 1 Juni 1941: AAS 33 (1941) hlm. 195-205; PAUS YOHANES XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra” (tgl.15 Mesi 1961): AAS 53 (1961) hlm.401-464; PAUS PAULUS VI, Surat Apostolik “Qctogesima Adveniens” (tgl.14 Mei 1971): AAS 63 (1971) hlm. 401-441.
[3] Bdk. PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”, III, loc.cit., hlm. 228.
[4] Ensiklik “Laborem Exercens” (tgl. 14 September 1981): AAS 73 (1981) hlm. 577-647; Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis” (tgl.30 Desember 1987): AAS 80 (1988) hlm.513-586.
[5] Bdk. S. IRENEUS, “Melawan Bidaah-Bidaah”, 1,10,1;3,4,1: PG 7,549 dsl.; 855 dsl.; S.Chr. 264,154 dsl.;211,44-46.
[6] PAUS LEO XIII, Ensiklik “Rerum Novarum”: loc. cit., hlm.132.
[7] Bdk. Misalnya: PAUS LEO XIII, Ensiklik “Arcanum Divinae Sapientiae” (tgl.10 Februari 1880): “Leonis XIII P.M. Acta”, II, Roma 1882, hlm. 10-40’ Ensiklik “Diuturnum Illud” (tgl.29 Juni 1881): “Leonis XIII P.M. Acta”,II, Roma 1882. hlm. 269-287; Ensiklik “Libertas Praestantissimum” (tgl.20 Juni 1888): “Leonis XIII P.M. Acta”,IV, Roma 1889, hlm.212-246; Ensiklik “Graves de Communi” (tgl.18 Januari 1901): “Leonis XIII P.M. Acta”, XXI, Roma 1902, hlm.3-20.
[8] Ensiklik “Rerum Novarum”, loc.cit., hlm.97.
[9] Dalam Ensiklik yang sama, loc.cit., hlm. 98.
[10] Bdk. Ensiklik yang sama, loc.cit. hlm. 109 dsl.
[11] Bdk. dalam Ensiklik yang sama: gambaran tentang kondisi-kondisi kerja; serikat-serikat pekerja yang tidak sesuai dengan agama kristiani: loc.cit., hlm.110 dsl,; hlm. 136 dsl.
[12] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.130; bdk. hlm.114 dsl.
[13] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlam.130.
[14] Dalam Ensiklik yang sama, 27: loc.cit., hlm.123.
[15] Bdk. Ensiklik “Laborem Exercens”, 1, 2, 6: loc.cit., hlm. 578-583; 589-592.
[16] Bdk. Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm. 99-107.
[17] Dalam Ensiklik yang sama : loc.cit., hlm.102dsl.
[18] Bdk. Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.101-104.
[19] Bdk. Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm. 134 dsl., 137 dsl.
[20] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.135.
[21] Bdk. Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.128-129.
[22] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.129.
[23] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.129.
[24] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.130 dan selanjutnya.
[25] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.131.
[26] Bdk. “Pernyataan Universal tentang Hak-Hak Manusia” (“Universal Declaration of, tahun 1948).
[27] Bdk. Ensiklik “Rerum Novarum”: Loc.cit., hlm.121-123.
[28] Bdk. Dalam Ensiklik yang sama:loc.cit., hlm.12.
[29] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm. 126 dan selanjutnya.
[30] Pernyataan Universal tentang HakHak Manusia, tahun 1948; Pernyataan tentang penghapusan setiap bentuk intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau keyakinan orang-orang.
[31] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Pernyataan “Dignitatis Humanae” tentang Kebebasan Beragama; PAUS YOHANES PAULUS II, Surat kepad apara Kepala Negara (tgl.1 September 1980):AAS 72 (1980) hlm. 1252-1260; Amanat untuk Hari Perdamaian Sedunia 1988: AAS 80 (1988)hlm.278-286.
[32] Bdk. Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm.99-105’ 130 dam selanjutnya; 135.
[33] Dalam Ensiklik yang sama:  loc.cit., hlm.125.
[34] Bdk. Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 38-40: loc.cit., hlm.564-569; bdk. Juga PAUS YOHANES XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra”: loc.cit., hlm.407.
[35] Bdk. PAUS lEO XIII, Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm.114-116; PAUS PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”, III: loc.cit., hlm.208; PAUS PAULUS VI, Homili pada penutupan Tahun Yubileum (tgl.25 Desember 1975): AAS 68 (1976)hlm.145; Amanat untuk Hari Perdamaian Sedunia 1977: AAS 68 (1976)hlm.709.
[36] Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 42: loc.cit. hlm.572.
[37] Bdk. Ensiklik “Rerum Novarum”; Loc.cit., hlm.101 dan selanjutnya; 104 dan selanjutnya; 130 dan selanjutnya; 136.
[38] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 24.
[39] Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm.99.
[40] Bdk. Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 15; 28: loc.cit., hlm. 530; 548 dan selanjutnya.
[41] Bdk. Ensiklik “Laborem Exercens”, no. 11-15: loc.cit., hlm. 602-618.
[42] PAUS PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”, III: loc.cit., hlm.213.
[43] Bdk. Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm.121-125.
[44] Bdk. Ensiklik “Laborem Exercens”, 20: loc,cit., hlm. 629-632; Amanat kepada “International Labour Organization”(ILO) di Jenewa (tgl.15 Juni 1982): “Insegnamenti” V/2 (1982), 2250-2266; PAULUS VI, Amanat kepada ILO (tgl.10 Juni 1969): AAS 61 (1969) hlm. 491-502.
[45] Bdk. Ensiklik “Laborem Exercens”, 8: Loc.cit., hlm. 594-598.
[46] Bdk. PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”, 14: loc.cit., hlm. 178-181.
[47] Bdk. Ensiklik”Arcanum Divinae Sapientiae” (tgl. 10 Februari 1880): “Leonis XIII P.M. Acta”, II, Roma 1882, hlm.10-40; Ensiklik “Diuturnum Illud” (tgl. 29 Juni 1881): “Leonis XIII P.M. Acta”, II, Roma 1882, hlm. 269-287; Ensiklik “Immortale Dei” (tgl. 1 November 1885): “Leonis XIII P.M. Act”V, Roma 1886, hlm. 118-150; Ensiklik “Sapientiae Christianae” (tgl.10 Januari 1890): “Leonis XIII P.M.Act”, X, Roma 1891, hlm. 10-41; Ensiklik “Quod Apostolici Muneris” (tgl.28 Desember 1878): “Leonis XIII P.M.Acta”, I, Roma 1881, hlm. 170-183; Ensiklik “Libertas Praestantissimum” (tgl 20 Juni 1888): “Leonis XIII P.M.Acta”, VIII, Roma 1889, hlm 212-246.
[48] Bdk. LEO XIII, Ensiklik “Libertas Praestantissimum”, 10: loc.cit.,hlm. 224-226.
[49] Bdk. Amanat pada Hari Perdamaian Sedunia 1980: AAS 71 (1979) hlm.1572-1580.
[50] Bdk. Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 20: loc.cit.,hlm.536 dan selanjutnya.
[51] Bdk. YOHANES XXIII, Ensiklik “Pacem in Terris” (tgl.11 April 1963),III:AAS 55 (1963) hlm. 286-289.
[52] Bdk. “Pernyataan Universal tentang Hak-Hak Manusia” , diterbitkan pada tahun 1948; YOHANES XXIII, Ensiklik “Pacem in Terris”, IV: loc.cit. hlm 291-296; “Final Act” pada Konferensi tentang Kerja Sama dan Keamanan di Eropa, Helsinki, 1975.
[53] Bdk. PAULUS VI, Ensiklik “Populorum Progressio” (tgl.26 Maret 1967),61-65: AAS 59 (1967) hlm. 287-289.
[54] Bdk. Amanat pada Hari Perdamaian Sedunia 1980: loc. cit., hlm. 1572-1580.
[55] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 36; 39.
[56] Bdk. Anjuran Apostolik “Christifideles Laici” (tgl. 30 Desember 1988) 32-44: AAS 81 (1989) hlm. 431-481.


[57] Bdk. Ensiklik “Laborem Exercens”, 20: loc. cit., hlm. 629-632.
[58] Bdk. KONGREGASI UNTUK AJARAN IMAN, Instruksi “Libertatis Conscientia” tentang Kebebasan Kristiani dan Pembebasan (Tgl. 22 Maret 1986):AAS 79 (1987) hlm.554-599.
[59] Bdk. Amanat di gedung Pusat CEAO (“Commission Economique de l’Afrique de l’Quest”, Komisi Ekonomi Afrika Barat) pada Ulang Tahun kesepuluh “Seruan Bantuan untuk daerah Sahel” (Uagadugu, Burkina Faso, tgl. 29 Januari 1990): AAS 82 (1990), hlm. 816-821.
[60] Bdk. YOHANES XXIII, Ensikli “Pacem in Terris”, III: loc. Cit., hlm. 286-288/
[61] Bdk. Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 27-28: loc. Cit., hlm. 547-550; PAULUS VI, Ensiklik “Populorum Progressio”, 43-44: loc. cit., hlm 278 dan selanjutnya.
[62] Bdk. Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 29-31: loc. Cit., hlm. 550-556.
[63] Bdk. “Final Act” Konferensi di Helsinki dan Persetujuan Wina; LEO XIII, Ensiklik “Libertas Praestantissimum”, 5: loc. Cit., hlm. 215-217.
[64] Bdk. Ensiklik “Redemptoris Missio” (tgal. 7 Desember 1990), L’Osservatore Romano, tgl.23 Januari 1991.
[65] Bdk. Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm. 99-107; 131-133.
[66] Dalam Ensiklik yang sama, loc.cit., 111-113 dan selanjutnya.
[67] Bdk. PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”, II: loc.cit., hlm.191; PIUS XII, Amanat Radio pada tgl. 1 Juni 1941: loc.cit., hlm. 199; YOHANES XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra”: loc. cit., hlm. 428-429; PAULUS VI, Ensiklik “Populorum Progressio”, 22-24: loc.cit., hlm. 268 dan selanjutnya.
[68] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 69; 71.
[69] Bdk. Amanat kepada para Uskup Amerika Latin di Puebla (tgl. 28 Januari 1979), III, 4: AAS 71 (1979) HLM. 1999-201; Ensiklik “Laborem Exercens” , 14: loc. cit., hlm. 612-616; Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 42: loc.cit., hlm.572-574.
[70] Bdk. Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 15: loc.cit., hlm.528-531.
[71] Bdk. Ensiklik “Laborem Exercens”, 21: loc.cit., hlm. 632-634.
[72] Bdk. PAULUS VI, Ensiklik “Populorum Progressio”, 33-42: loc.cit. 273-278.
[73] Bdk. Ensiklik “Laborem Exercens”, 7:loc. Cit., hlm. 592-594.
[74] Bdk. Ensiklik yang sama, 8:loc.cit. hlm. 594-598.
[75] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes “ tetnang Gereja dalam Dunia Modern, 35; PAULUS VI, Ensiklik “ Populorum Progressio”, 19: loc.cit.hlm. 266 dan selanjutnya.
[76] Bdk. Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 34: loc.cit., hlm.559 dan selanjutnya; Amanat pada Hari Perdamaian Sedunia 1990: AAS 82 (1990) hlm.147-156.
[77] Bdk. Anjuran Apostolik “Reconciliatio et Poenitentia” (tgl.2 desember 1984), 16: AAS 77 (1985) hlm. 213-217 ; PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”, III: loc.cit.hlm.219.
[78] Ensikilik “Sollicitudo Rei Socialis” , 25: loc.cit., hlm. 544.
[79] Bdk. Ensiklik yang sama, 34:loc.cit., hlm. 559 dan selanjutnya.
[80] Bdk. Ensiklik “Redemptor Hominis” (tgl.4 Maret 1979), 15: AAS 71 (1979) hlm. 286-289.
[81] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 24.
[82] Bdk. dalam Konstitusi yang sama, 41.
[83] Bdk. dalam Konstitusi yang sama, 26.
[84] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 36;Paulus VI, Surat Apostolik “Octtogesima Adveniens”, 2-5: loc.cit., hlm. 402-405.
[85] Bdk. Ensiklik “Laborem Exercens”, 15:loc.cit., hlm. 616-618.
[86] Bdk. dalam Ensiklik yang sama, 10: loc.cit., hlm. 600-602.
[87] Dalam Ensiklik yang sama, 14: loc.cit., hlm. 612-616.
[88] Bdk. dalam Ensiklik yang sama, 18: loc.cit., hlm. 622-625.
[89] Bdk. Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm. 126-128.
[90] Dalam Ensiklik yang sama, hlm.121 dan selanjutnya.
[91] Bdk. LEO XIII, Ensiklik “Libertas Praestantissimum”: loc.cit., hlm.224-226.
[92] Bdk.KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 76.
[93] Bdk. Dalam Konstitusi yang sama, 29; PIUS XI, Amanat Radio pada Hari Natal, tgl.24 Desember 1944: AAS 37 (1945) hlm. 10-20.
[94] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Pernyataan ”Dignitatis Humanae” tentang Kebebasan Beragama.

[95] Bdk. Ensiklik “Redemptor Missio”, 11: L’Osservatore Romano, tgl.23 Januari 1991.
[96] Bdk. Ensiklik “Redemptor Hominis”, 17: loc.cit., hlm.270-272.
[97] Bdk. Amanat untuk Hari Perdamaian Sedunia 1988:loc.cit., hlm. 1572-1580’ Amanat untuk Hari Perdamaian Sedunia 1991; L’Osservatore Romano, tgl.19 Desember 1990; KONSILI VATIKAN II, Pernyataan ”Dignitatis Humanae” tentang Kebebasan Beragama, 1-2.
[98] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 26.
[99] Bdk. Konstitusi yang sama, 22.
[100] PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”, I: loc.cit.hlm.184-186.
[101] Bdk. Anjuran Apostolik “Familiaris Consortio” (tgl.22 November 1981), 45: AAS 74 (1982) hlm. 136 dan selanjutnya.
[102] Bdk. Amanat kepada UNESCO (tgl.2 Juni 1980) : AAS 72 (1980) hlm. 735-752.
[103] Bdk. Ensiklik”Redemptoris Missio”, 39; 52: L’Osservatore Romano, 23 Januari 1991.
[104] Bdk. BENEDIKTUS XV, Anjuran “Ubi Primum” (tgl.8 September 1914): AAS 6 (1914) hlm.501. dan selanjutnya; PIUS XI, Amanat Radio kepada Umat Beriman Katolik dan seluruh Dunia (tgl.29 September 1938):AAS 30 (1938) hlm. 309 dan selanjutnya; PIUS XII, Amanat Radio kepada seluruh dunia (tgl.24 Agustus 1939): AAS 31 (1939) , hlm. 333-335; YOHANES XXIII, Ensiklik “Pacem in Terris”, III: loc.cit., hlm. 285-289; PAULUS VI, Amanat kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (tgl.4 Oktober 1965): AAS 57 (1965)  hlm. 877-885.
[105] Bdk. PAULUS VI, Ensiklik “Populorum Progressio”, 76-77: loc. Cit., 294 dam selanjutnya.
[106] Bdk. Ajaran Apostolik “ Familiaris Consortio”, 48: loc.cit., hlm.139 dan selanjutnya.
[107] Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm.107.
[108] Bdk. Ensiklik ”Redemptor Hominis” . 13: loc.cit., hlm.283.
[109] Ensilik yang sama, 14: loc.cit., hlm. 284 dan selanjutnya.
[110] PAULUS VI, Homili pada Sidang Umum Terakhir Konsili Vatikan II (tgl.7 Desember 1965): AAS 58 (1966)hlm. 58.
[111] Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 41:loc.cit., hlm.571.
[112] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 76; bdk. YOHANES PAULUS II, Ensiklik “Redemptor Hominis”, 13: loc.cit., hlm.283.
[113] Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm.143.
[114] Ensiklik yang sama, hlm.107.
[115] Bdk. Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 38: loc.cit., hlm. 564-566.
[116] Ensiklik yang sama, 47: loc.cit., hlm. 582.