Evangelii Gaudium dan Revolusi Cinta
06/12/2013

“I prefer a Church which is bruised, hurting and dirty because
it has been out on thestreets, rather than a Church which is unhealthy from
being confined and fromclinging to its own security” (49) –
“Saya lebih bersimpati pada Gereja yang rapuh, terluka dan kotor karena
menceburkan diri ke jalan-jalan, ketimbang sebuah Gereja yang sakit lantaran
tertutup dan mapan mengurus dirinya sendiri.”
Seruan ini dikumandangkan oleh Paus Fransiskus kepada umat
Katolik di seantero jagad dalam Seruan Apostoliknya berjudul Evangelii Gaudium (Sukacita
Injili) hari Selasa, 26 November 2013. Seruan Apostolik ini boleh
dibilang sebagai program kerja Paus Fransiskus. Ia mencita-citakan sebuah Gereja
yang lebih terbuka, yang mampu menampilkan diri sebagai sebuah budaya tandingan
(counterculture) bagi gambaran manusia homo economicus yang
tengah terpasung perangkap budaya konsumerisme.
Akar dari konsumerisme adalah kapitalisme tanpa
kendali yang tengah menghancurkan dunia dan menebarkan malaikat maut ke segala
penjuru kehidupan manusia. Tak ada sistem sosial yang tidak tunduk pada
imperatif ekonomi pasar bebas yakni profit. Yang tak
mendatangkan profit dianggap tidak ada atau harus ditiadakan.
Dalam sebuah tatanan sosial yang tunduk pada logika profit sebagai prinsip
sakral, term-term seperti solidaritas, keadilan sosial dan subsidiaritas tak
mendapat tempat. Karena itu atas nama efisiensi, persaingan bebas dan kalkulasi
untung rugi, pelayanan-pelayanan publik di bidang kesehatan, pendidikan, air
bersih, pangan, transportasi umum semuanya diprivatisasi.
Kapitalisme terutama dalam wajahnya yang paling ekstrim yakni
neoliberalisme bertanggung jawabatas ketidakadilan, kemiskinan,
peperangan dan kematian massal. Sistem ekonomi kapitalis adalah mesin pembunuh
umat manusia, tulis Paus Fransiskus. Kapitalisme berfungsi berdasarkan hukum
rimba. Sistem kapitalisme telah menciptakan bentuk-bentuk perbudakan baru
seperti sindikat perdagangan manusia untuk kepentingan tenaga kerja murah di pabrik-pabrik,
prostitusi dan pekerja anak di bawah umur. Persoalan-persoalan ini harus
mengganggu ketenangan nurani kemanusiaan setiap orang beriman.
Karena itu Paus meminta semua orang Kristen agar dengan
cara-cara damai menentang sistem ekonomi yang eksploitatif tersebut. Sebab
Fransiskus lebih menaruh simpati pada model Gereja yang rapuh seperti bejana
tanah liat dan kotor karena menceburkan diri dalam pergulatan umat manusia
ketimbang Gereja yang sakit karena membangun menara gading dan sibuk mengurus
birokrasinya sendiri.
Gereja tidak boleh menarik diri dari dunia, tapi harus
masuk ke tengah dunia. Gereja harus menjadi Gereja missioner. Itu berarti,
Gereja harus mewartakan Sabda Allah yang membebaskan. Ia harus mampu
mendengarkan jeritan para tawanan, menyembuhkan yang sakit, mengadvokasi para
korban yang dirampas hak-haknya, dan menurunkan semua yang congkak dari
singgasana kekuasaan termasuk singgasana imperium ekonomi yang dibangun di atas
piramida kurban manusia.
Keterlibatan misioner Gereja ini harus dibangun atas basis
spiritualitas yang kokoh yakni iman akan inkarnasi. “Lewat peristiwa
inkarnasi Putera Allah telah mengundang kita menuju revolusi cinta yang
mesrah,” (88). Yesus adalah seorang revolusioner dan sekaligus panutan
satu-satunya bagi semua orang Kristen. Dalam nada teologi pembebasan dan pisau
analisis Marxian,Paus Fransiskus berpandangan bahwa seorang Kristen yang
tidak revolusioner sudah pasti bukan Kristen. Perubahan dunia menuju
yang lebih baik hanya mungkin lewat revolusi gaya hidup yang radikal baik pada
tataran individual mapun struktural.
Revolusi cinta itu hanya mungkin tercapai jika kita menjadi
simbol harapan bagi dunia dan tidak terjerumus ke dalam bahaya pesimisme yang
radikal. Pesimisme radikal adalah ciri khas masyarakat yang menggantungkan
seluruh hidupnya pada “yang duniawi” semata dan menutup diri terhadap hal-hal
adikodrati. Pesimisme radikal adalah karakter dasar orang-orang yang hidup
tanpa Allah. Hal ini tampak dalam patologi sosial seperti pragmatisme,
individualisme, krisis identitas dan raibnya idealisme.
Dalam situasi ini orang cenderung menarik diri dari dunia dan
mencari rasa aman dalam spiritualitas kesenangan (spiritualityof well-being)” minus
hidup komunitas atau “teologi kemakmuran tanpa solidaritas sosial bagi kaum
miskin” (90). Spiritualitas dan teologi seperti ini tidak pernah mencari
kehendak Allah, tapi keamananan dan kebesaran dirinya sendiri (93).
Orang miskin mendapat tempat istimewa dalam seruan apostolik
Paus Fransiskus. Orang-orang miskin mampu menobatkan Gereja dari Gereja
triumfalistik menuju Gereja yang melayani dan dialogal. Karena itu bagi Gereja,
orang miskin pada tempat pertama merupakan sebuah kategori teologis, baru pada
tahap berikutnya dipandang sebagai kategori sosiologis dan politis. “Karena itu
saya mencita-citakan sebuah Gereja yang miskin untuk orang-orang miskin” (198).
Dan setiap komunitas dalam Gereja yang melupakan kaum miskin akan berada dalam
bahaya menghancurkan dirinya sendiri, sebab tanpa keberpihakan pada kaum miskin
kegiatan religious tidak menghasilkan buah dan akan mabuk sempoyongan dalam
candu spirituality of well-being (207).
Paus Fransiskus mendorong Gereja untuk memberi perhatian khusus
bagi kaum lemah dan termarginalkan. Mereka adalah para pengungsi, tunawisma,
para pecandu narkoba, penduduk asli yang terpinggirkan dan para penderita HIV.
Negara-negara industry maju diminta untuk lebih membuka diri terhadap para
pengungsi dari dunia ketiga. Dengan kedatangan para pengungsi negara-negara
maju tidak perlu takutakan kehilangan identitas, tapi harus berani menciptakan
sintesis kultural yang baru (210).
Evangelii Gaudium mengundang semua umat
beriman untuk bercermin pada hidup para pengarang injil yang selalu membuka
diri terhadap karya Roh Kudus. Roh Kudus mengaruniakan kita kekuatan untuk
mewartakan kabar gembira secara baru kapan dan di mana saja, kendati harus
melawan arus zaman. Untuk itu Paus Fransiskus memberanikan seluruh Gereja:
“Lantaran kita tidak selalu menyaksikan benih-benih yang sedang bertumbuh itu,
maka kita membutuhkan kepastian dan keyakinan hakiki bahwa Allah dapat
bertindak setiap saat, juga di saat-saat kegagalan, sebab harta ini kita punyai
dalam bejana tanah liat” (279).
Otto Gusti SVD, Dosen Filsafat Politik dan HAM di STFK Ledalero,
Maumere, Flores.
Artikel ini telah dimuat di Pos Kupang pada 5 Desember 2013
__._,_.___